INI jelajah, atau Trail dalam istilah TH, sekaligus menjadi kopi darat pertama Tjimahi Heritage. Setelah sekian lama, hanya kongkow di grup Facebook dan kegiatan CDB (Cimahi Dalam Bingkai) yang vakum. Saya dan Kang Iwan memilih tema Kamp Interniran Baros 6, karena paling mudah dijangkau. Rutenya tidak terlalu jauh. Perizinan tak ribet. Saya hanya menghubungi Ketua RW Baros Kompleks, karena akan melewati kompleks itu.
Minggu pagi, 5 April 2015. Titik pertemuan sudah ditetapkan di Taman Urip samping RS Dustira, Jalan Urip Sumohardjo. Ini taman yang kembali ditata oleh Pemkot Cimahi. Di zaman kolonial, taman ini bernama Emma Park. Jalan Urip dulu bernama Emmalaan. Nama Emma, sama dengan nama Hotel Emma di daerah Sukimun (Schoolweg). Nama itu mengacu pada nama Ratu Emma, istri kedua Raja Willem III yang berkuasa pada 1817-1890.
Kang Iwan sudah stand by sebelum pukul 08.00. Sejumlah peserta mulai berdatangan. Satu sama lain banyak yang belum kenal. Akhirnya berkumpullah sekitar 40 orang, bahkan lebih, di Taman Urip. Ada pegiat-pegiat Cimahi yang ikut serta, seperti seniman Kang Dede Syarif, Kang Budi Raharjo, Kang Heru Hermawan, dan Teh Primas. Lalu hadir pula Mas Suyanto Lumaksono dari gereja St Ignatius, kang Andrenaline Katarsis dan Kang Moh Sopian Ansori dari Balad Junghuhn. Rupanya kegiatan ini pun "dipantau" orang Bandung. Itu terlihat dari kehadiran Bu Endang Arie Soedarmojo, pegiat segala jelajah.
Yang lebih menyenangkan, ikut serta pula adik-adik dari SD Kihapit (Lihat foto di sini). Mereka yang duduk di bangku kelas 6 ini diajak oleh gurunya, Teh Erwanti. Alasannya, supaya tahu sejarah Cimahi.
Tentu banyak wajah-wajah baru yang kenal belakangan, seperti Pak Aryadi, Kang Agung, Mbak Yustinia, dan lain-lain. Ada juga senior-senior saya di SMA dulu, Kang Yarman dan istrinya, Teh Lisna.
Setelah perkenalan, kami kemudian berfoto-foto di Taman Urip dan di depan asrama dokter RS Dustira. Selanjutnya, kami pun berdoa untuk memulai jelajah. Rombongan berjalan ke arah selatan, menuju kawasan Brigif di Kebon Rumput. Di sepanjang jalan, saya dan Kang Iwan bergantian memandu dan bercerita tentang kisah-kisah dan sejarah di seputaran kawasan Dustira, Ubug, Brigif, hingga ke Baros.
Di lapang voli Adiraga, dekat Markas Koramil, kami berhenti. Saya menerangkan tentang sejarah kompleks Kebun Rumput dan Basis. Dulu, kompleks ini merupakan kompleks perumahan serdadu dan perwira Depot Mobiele Artillerie (DMA). DMA kini menjadi Pusdik Artileri. Selain rumah serdadu, Kompleks Basis merupakan kandang kuda.
Dulu kawasan ini disebut Graslanden, yang artinya padang rumput atau kebun rumput. Dipersiapkan sejak tahun 1910. Kawasan yang memang diperuntukan bagi keperluan kavaleri dan kuda-kuda penarik meriam artileri. Membentang luas dari belakang Pusdik Art hingga ke perbatasan jalan tol Cibebera sekarang. Orang setempat menyebutnya Kebon Jukut. Sampai tahun 90-an, nama Kebon Jukut masih eksis. Entah kenapa, sekarang berubah menjadi Kebun Rumput. Tapi tetap saja singkatannya mengandung diksi bahasa Sunda, Borum dari Kebon Rumput.
Kebon Jukut menjadi tujuan para tukang delman dan juragan kuda di Cimahi dan sekitarnya. Waktu kecil, usia SD, saya sering diajak naik gerobak dari Parapatan Cihanjuang ke ATA (Akademi Teknik Ahmad Yani), cikal bakal Unjani, untuk mengambil rumput. Maklum Aki Oma, saudara jauh, merupakan juragan kuda dan delman di Parapatan. Namanya tenar hingga ke Lembang. Gerobak kudanya pernah dipakai Roma Irama waktu syuting film Satria Bergitar.
Saat ini, sisa-sisa kejayaan Kebon Jukut nyaris tidak tersisa. Padang rumput itu sudah berubah menjadi Markas Brigif 15, menjadi perumahan, menjadi kampus Unjani, STKIP, Stikes, dan perkampungan masyarakat. Hanya ada sedikit lahan yang masih menyisakan rumput-rumput hijau di sebelah barat Unjani, dekat kampung Mekarsari. Setiap hari masih ada seorang pencari rumput yang menyabit rumput untuk dijual kepada pemilik kuda delman. Tukang rumput ini menyimpan rumput di tepi kali depan gerbang Unjani, untuk kemudian diambil oleh pemilik kuda setiap sore.
Dari lapang voli, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Kebun Rumput ke arah Brigif. Di sebelah kiri adalah jejeran rumah-rumah dinas militer yang sudah ada sejak jaman kolonial. Rumah-rumah ini dipakai para petinggi Garnizun Tjimahi. Pangkatnya minimal Mayor. Pangkat Mayor ketika itu adalah pemimpin Garnizun. Kabarnya salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda pernah pula tinggal di salah satu rumah ini.
Di perempatan jalan, di sebelah kiri, ada bangunan yang sekarang dipakai TK Kartika. Ini juga salah satu bangunan heritage. Lalu kami berjalan kembali memasuki Jalan Ratulangi.
Di zaman kolonial, jalan ini bernama Williamstraat (Jalan William). William mengacu pada nama raja Belanda. Kompleks Ratulangi inilah yang menjadi bagian dari kamp interniran, Baros Kamp 6. Beberapa rumah di kompleks ini pernah dijadikan rumah sakit darurat, untuk merawat para interniran yang sakit.
Kondisi rumah-rumah di sini relatif masih utuh. Ada beberapa yang kosong tidak terawat. Ada pula rumah yang sudah direnovasi, menghilangkan bagian muka masa kolonial. Kebanyakan rumah di sini berbentuk kopel, satu atap untuk dua rumah.
Kami berhenti lebih dulu di Masjid Hizbul Wathon untuk beristirahat. Sambil duduk-duduk, peserta mendengarkan penjelasan dari Kang Iwan perihal Baros Kamp 6 ini. Kang Iwan membawa buku Mijn Kamp Niet Door Hitler, ini buku yang judulnya semacam plesetan dari buku Hitler, Main Kampf. Isinya bercerita tentang nasib interniran, salah satunya di Tjimahi. Buku lain yang menjadi panduan jelajah kali ini juga adalah Dalem Tawanan Djepang, karya Nio Joe lan. Nio merupakan interniran yang pernah merasakan pahitnya hidup di Kamp 4 (sekarang jadi Pusdikhub).
Di ujung Jalan Sam Ratulangi, sebelum ke jalan Baros, ada pertigaan yang membentuk letter U. Bentuk letter U ini sama dengan awal kami masuk ke Jalan Kebun Rumput. Jadi di masing-masing ujung bentuknya Letter U. Di sini ada rumah yang menghadap ke Jalan Baros, dulu Barosweg. Di belakangnya, ada rumah yang menghadap ke Jalan Sam Ratulangi.
Dari kompleks Ratulangi, kami menyeberangi Jalan Baros, masuk ke Baros Kompleks. Inilah pusat dari interniran Kamp Baros 6, yang diperuntukan bagi wanita dan anak-anak. Sayang, rumah-rumah di kompleks ini sudah banyak yang berubah. Hanya beberapa yang mempertahankan bentuk asli.
Dari beberapa sumber, diketahui, ada sekitar 16.000 orang interniran, terdiri atas orang Belanda, Jerman, dan juga Tionghoa, yang menghuni kamp-kamp buatan Jepang di Cimahi. Sebagian ada yang bisa bertahan, tapi sebagian tak mampu melanjutkan perjuangan hidupnya. Termasuk mereka yang meninggal adalah arsitek Thomas Karsten.
Dari Baros Kompleks, kami berjalan kembali ke Jalan Baros lalu mengarah ke utara, melewati Gereja Ignatius dan berakhir di Taman Kartini. Di tempat ini, kami berkumpul dan sharing tentang beberapa kisah yang terlewat saat jelajah tadi. Trail pun ditutup dengan doa dan rasa syukur tak terhingga bahwa kegiatan berjalan lancar sesuai rencana. Tak lupa, tentu kita berfoto bersama dulu sebelum bubar.
Sampai bertemu di Trail berikutnya. Salam Heritage! (kang mac)
Saturday, January 30, 2016
Wednesday, January 20, 2016
Tjimahi Heritage
Adalah sebuah komunitas para pencinta sejarah dan bangunan tua di Kota Cimahi. Mulai dibentuk di dunia maya pada 23 Agustus 2012.
Komunitas ini merupakan kelanjutan dari aktivitas anggota grup Urang Cimahi (UC). Grup UC beberapa kali mengadakan kegiatan Cimahi Dalam Bingkai (CDB), yaitu jalan-jalan keliling sejumlah kawasan di Kota Cimahi sambil memotret bangunan-bangunan tua di sekitarnya. Tujuannya untuk mendokumentasikan peninggalan-peninggalan kolonial Belanda.
Melihat antusiasme anggota UC dalam hal kajian sejarah dan heritage, itu terlihat dari unggahan-unggahan foto-foto lama di grup UC, akhirnya Kang Rizal berinisiatif membuat grup khusus yang mewadahi kajian Cimahi Tempo Doeloe.Kang Rizal lalu mengajak Kang Mac dan Kang Iwan untuk mengelola grup dan mengembangkannya dalam grup Tjimahi Heritage.
Awal 2015, dimulailah kegiatan jelajah atau Tjimahi Heritage Trail. Unggahan-unggahan foto, kisah, sejarah, pun terus mengalir di grup Facebook. Sampai kini, Tjimahi Heritage terus berkarya. Tak hanya menjelajah, Tjimahi Heritage pun menggelar diskusi-diskusi kesejarahan, dan bekerjasama dengan instansi pemerintah atau komunitas lain, dalam kegiatan penelusuran sejarah.
Melalui kegiatan yang dikemas secara menyenangkan, Tjimahi Heritage ingin menyadarkan masyarakat akan pentingnya sejarah, mengetuk hati para pemimpin Kota Cimahi untuk memerhatikan peninggalan kolonial di kota garnizun ini, sekaligus mengajak seluruh anggota dan masyarakat untuk bersatu padu menyelamatkan bangunan cagar budaya yang masih tersisa.
Tabik. (*)
Subscribe to:
Posts (Atom)