Tuesday, September 12, 2017

Abattoir Tjimahi, Usianya Hampir 101 Tahun

TAHU kan ini bekas bangunan apa? Yup, ini bekas Rumah Pejagalan Hewan (RPH) Cimahi. Lama terbengkalai, tak tentu nasibnya. Beberapa tahun lalu sempat diisukan bakal menjadi apartemen. Baliho iklannya segede gaban, tapi tidak tahu juntrungannya.
 

RPH Cimahi ini punya sejarah panjang, merentang sekitar 101 tahun. Wow!. Di zaman Belanda, namanya tentu bukan RPH, tetapi Abattoir, rumah jagal kecil. Begini cerita soal Abattoir ini. De Preanger Bode, koran berbahasa Belanda, 11 Januari 1913, memberitakan rencana pendirian rumah jagal di Bandung dan Cimahi. Perusahaan yang akan membangunnya adalah Jenne & Co di Batavia. Jenne & Co adalah importir sapi asal Australia dan bawang putih.
 

Koran Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 18 Oktober 1916 memberitakan soal pembukaan abattoir Tjimahi ini. Pengelola Abattoir ini ya Jenne & Co tadi itu. Lokasinya berada di Schoolweg (Jalan Sekolah). Sekarang namanya berganti jadi Jalan Sukimun, untuk mengenang pejuang Sukimun yang tewas ditembak Belanda di Baros.
 

Saat pembukaan abbatoir, pengelola mengundang para wartawan. Maka diperlihatkanlah sistem pemotongan ternak yang praktis, sangat efektif, lebih higienis, dan lebih etis. Pengaturan tempat pemotongan hewan dibuat sedemikian rupa, sehingga hewan yang akan dijagal tidak tersiksa.
 

Daging dari abattoir ini kebanyakan didistribusikan ke barak-barak tentara KNIL. Ingat, Cimahi itu garnizun militer. Kampement 4e dan 9e (sekarang jadi Pusdikhub dan Pusdikbekang) jadi markas utama tentara KNIL. Selain Bergartilleri (Yon armed 4), Depot Militaire Artillerie (Pusdik Armded), dan Genitropen (pusdik Pengmilum). Pasokan daging dari abattoir inilah yang menyumbang kalori terbesar untuk serdadu2 KNIL.
 

Dalam pemberitaan itu disebutkan pula, pembangunan Abattori menelan biaya 35.000 gulden. Kapasitas pemotongan mencapai 10 ekor hewan per hari. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 1 Juni 1927, disebutkan, rumah pejagalan Tjimahi dibeli oleh Pemerintah Daerah Priangan senilai 25.000 gulden dari NV Handelmaatschapaij Jenne & Co. Pemberitaan berikutnya pada 24 Juni 1927, RPH ini diserahkan Pemerintah Daerah Priangan kepada suatu badan usaha milik pemerintah di Kabupaten Bandung.
 

Entah sampai kapan RPH ini berfungsi. Yang pasti sejak tahun 80-an, kondisinya sudah memprihatinkan. Kini bangunan itu dihuni beberapa keluarga. Entah apa kaitannya dengan RPH. (*)

Sunday, September 3, 2017

Riwayat Bioskop Rio



Satu-satunya bangunan bioskop zaman Belanda  di Cimahi yang gedungnya masih bertahan. Namun bioskopnya sudah gulung layar.
Bioskop Rio merupakan bagian dari jaringan bioskop Elita Concern. Siapa lagi yang punya jaringan bioskop itu kalau bukan Si Raja Bioskop, FAA Busè.
 

Ya Busè adalah pemilik sejumlah bioskop kelas atas  di Bandung. Sebut saja nama bioskop Elita, Varia, Oriental, Luxor, Majestic dan Rex.  Pembangunan bioskop Rio ditandai dengan peletakan batu pertama oleh anak FAA Busè, Yvonne Francois Busè, pada 23 Oktober 1937.
 

Dari penelusuran admin TH, berdasarkan pemberitan koran2 lawas Belanda seperti De Preangerbode dan Batavianieuwsblad, bangunan bioskop sempat mengalami kerusakan dan baru bisa dioperasikan pada tahun 1947. Film pertama yang diputar berjudul Pardon My Sarong pada 23 Maret 1947. Lalu pada tanggal 31 Maret memutar film berjudul Tall in the Saddle.
 

Sejak itu Bioskop Rio konsisten memutar film2 Hollywood antara lain film Always in My Heart dan Now Voyager. Tak ketinggalan Rio pun memutar film Indonesia. Tjitra pada tahun 1951 dan Bakti pada 1955.
 

Bioskop Rio pun sempat dijadikan tempat kampanye pada Pemilu 1955, antara lain oleh Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bentukan AH Nasution.
 

Tahun 70-an sampai 80an, bioskop Rio dibanjiri film-film Mandarin khususnya kungfu. Nama2 beken seperti Wang Yu, Bruce Lee, Chen Lung, dan Lie Lien Cheh menghiasi poster film di depan dan lobi bioskop.
 

Film nasional berkelas seperti Sunan Kalijaga, Saur Sepuh juga diputar di sini. Selain poster, Rio pun mengandalkan selebaran pamflet yang disebar melalui mobil berpelantang keliling Cimahi. Anak-anak selalu berebutan selebaran itu setiap dilempar ke luar mobil.
 

Tahun 90an, ketika booming film esek-esek, Rio pun tak ketinggalan. Film Gadis Metropolis, Ranjang Berdarah, Setetes Noda Berdarah dengan poster besar terpajang vulgar.
 

Itulah hari-hari suram dan terakhir bioskop Rio. Bioskop yang dulu jadi kebanggaan warga Cimahi perlahan mulai surut dihajar zaman. Sampai akhirnya gulung layar.
 

Bangunannya sempat menganggur. Sekitar tahun 2010an, bioskop direvitalisasi. Sebagian besar masih tetap, terutama bagian atas. Namun bagian depan tembok dinding depan dan samping hilang. Padahal di situ ada plakat pendirian bangunan. Kini wajah Bioskop Rio berubah menjadi konter ponsel. (*)