Friday, March 3, 2017

Amir Machmud, Jenderal dari Pelosok Cibeber

Oleh Kang Mac

                                                           
                                                               Sumber: Buku Otobiografi Amir Machmud "Prajurit Pejuang"

ADA yang kenal dengan sosok remaja berusia 14 tahun ini? Tentu sulit mengenalnya. Tapi kalau disebutkan bahwa remaja tampan itu bernama Amir Machmud, pasti ingatan akan melayang pada sosok bertubuh besar yang pernah menjabat Mendagri di masa Orde Baru. Atau setidaknya nama itu tersangkut pada memori pelajaran sejarah, saat membahas soal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). 

Ya, Amir Machmud bersama dua jenderal lainnya, yaitu Basuki Rachmat dan M Jusuf, lah yang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor dan pulang membawa Supersemar untuk diserahkan kepada Jenderal Soeharto. Dari situlah, asal mula Orde Baru muncul dan berjaya selama puluhan tahun.

Amir Machmud adalah sosok pituin, asli, kelahiran Cimahi. Ia lahir di Kampung Nyenyerean, sebuah kampung kecil di pelosok Cibeber, Cimahi Selatan, 21 Februari 1923. Ayahnya Atang, ibunya bernama Nyimas Ganirah. Ayahnya bekerja sebagai pegawai di apotek Militair Hospitaal Tjimahi atau yang sekarang menjadi RS Dustira. Kelak, jalan di sebelah barat rumah Amir Machmud di Cibeber dari mulai belakang Unjani hingga ke pertigaan Ciseupan dinamakan Jalan Ibu Ganirah, merujuk pada nama ibunda Amir Machmud. Sementara jalan di depan rumah Amir diberi nama Jalan ibu Sangki, mengacu pada nama nenek Amir Machmud.

Ayah Amir berasal dari daerah Babakan, di Cianjur. Sementara ibunya adalah keturunan menak, putri dari Nyima Sangki. Nenek Amir Machmud itu merupakan keturunan keenam R Wirakusumah, Dalem Dayeuh Luhur di Purwakarta. Dari Wirakusumah itu turunlah R Rangki yang semasa hidupnya menguasai wilayah Leuwigajah dan Cibeber. Lalu R Rangki ini menurunkan R Anggadiria yang dikenal sebagai Khalifah Cimahi. Beliau menurunkan RH Abdul Halim yang menikah dengan R Nuriah, putri dari Penghulu Cimahi RH Kahpi. Dari perkawinan inilah lahir Nyimas Sangki. 



Namun menurut Amir Machmud, seperti dikutip dari buku otobiografinya Prajurit Pejuang, keluarganya pun memiliki hubungan dengan Embah Dalem Kabul yang makamnya berada di Desa Eretan, Buni Buana, Soreang. Embah Dalem ini yang dikenal dengan sebutan Embah Santoan Kabul. Salah satu putranya, Embah Dalem Kiai Abdurrahman adalah orang yang terkenal dengan sebutan Dalem Gajah, karena memiliki tiga ekor gajah. Nama lubuk di sungai yang dipakai untuk memandikan gajah-gajahnya itu disebut Leuwigajah. Kini Leuwigajah menjadi nama kelurahan di Cimahi Selatan.

Rumah keluarga Amir Machmud di Cibeber sangat luas. Malahan kata Amir Machmud, masih dari buku Prajurit Pejuang, sebagian tanah mereka dijadikan sebagai kawasan Grasland atau Kebon Jukut atau sekarang dikenal sebagai Kebon Rumput. Kebon Rumput itu digunakan sebagai lahan pakan bagi kuda-kuda milik Depot Mobiele Artillerie (DMA) yang tugasnya menarik meriam-meriam berat ke tempat latihan di Gunung Bohong atau ke medan pertempuran.  Kuda-kuda itu pun dipakai sebagai alat transportasi para perwira.

Ayah Amir Machmud juga memiliki rumah di daerah Kaum Kulon. Rumah itu diwakafkan kepada masyarakat setelah Pak Atang meninggal pada usia 93 tahun dan dijadikan madrasah. Di daerah itu, ayah Amir dikenal dengan panggilan Enggah. 

Amir Machmud merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Enam kakak beradik itu adalah:
1. RE Umar Abdullah (alm), semasa hidup menjadi pegawai pada Kantor Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung
2. NR Eulis Sumarni, menikah dengan Njum Suwardi, pensiunan pegawai negeri dengan jabatan terakhir Kepala Kantor Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung.
3. Amir Machmud
4. RH Kamar Toeti Achmar, anggota TNI berpangkat Kapten sampai 1948, kemudian menjadi pegawai Depdikbud.
5. NR Noecky Sukarsih, menikah dengan Mayor Hamid yang gugur di Purwakarta dalam pertempuran melawan pasukan Belanda
6. NR Bunga Nawangsih.

Usia lima tahun, Amir Machmud masuk sekolah TK (Kleuter School di Bandung). Keluarga Amir memang pindah ke Dago tahun 1926. Ketika itu ayah Amir mendapat pekerjaan yang lebih baik di Kantor Pekerjaan Umum Regentschapwerken  Bandung sebagai Wegoopziener (pengawas jalan raya) dan Rooimester (pengawas bangunan rumah)

Saat Jepang masuk menjajah Indonesia, pemuda Amir pun turut serta mengikuti pendidikan PETA. Semula ia dididik di kamp Tjimahi, lalu dipindahkan ke Bogor. Setelah Indonesia Merdeka, Amir pun masuk dalam barisan BKR, TKR, TRI dan TNI.

Seperti ditulis Wikipedia., pada tahun 1946, setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didirikan, BKR Lembang telah diintegrasikan ke Kodam VI/Siliwangi (Divisi Siliwangi), sebuah komando regional militer yang bertanggung jawab atas keamanan Jawa Barat. Amirmachmud kemudian dipindahkan ke Bandung Utara, di mana ia membiarkan pasukannya dalam pertempuran melawan pasukan Inggris dan pasukan Belanda, yang sangat ingin mempertahankan wilayah kolonial mereka.

Amirmachmud dan KODAM VI/Siliwangi kemudian dipaksa untuk meninggalkan Jawa Barat pada tahun 1948 setelah penandatanganan Perjanjian Renville. Berdasarkan perjanjian ini, Pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengakui wilayah yang telah diambil di bawah kontrol Belanda dan ini termasuk Jawa Barat. Di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution, KODAM VI/Siliwangi dipindahkan ke Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, Amirmachmud bergabung dengan pasukannya dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Pada tahun 1949, ketika masa-masa awal Belanda untuk keluar dari Indonesia, Amirmachmud dan pasukannya kembali ke Jawa Barat. Disana, Amirmachmud terlibat dalam pertempuran melawan gerakan Darul Islam, kelompok separatis yang ingin mendirikan Indonesia yang teokratis di bawah agama Islam. Pada tahun 1950, Amirmachmud juga terlibat dalam penumpasan terhadap Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah kelompok militer yang masuk ke Bandung dan mulai membidik prajurit TNI.

Setelah situasi mulai tenang, Amirmachmud memiliki karier militer yang relatif lancar dan menjabat sebagai Panglima Batalyon di Tasikmalaya dan Garut sebelum diangkat menjadi Kepala Staf Resimen di Bogor. Setelah mengabdi di Bogor, Amirmachmud menjabat sebagai Kepala Staf Panglima KODAM VI/Siliwangi.

Pada tahun 1958, Amirmachmud dipindahkan ke Jakarta di mana ia bekerja sebagai anggota staf di markas besar Angkatan Darat selama dua tahun.

Pada tahun 1960, Amirmachmud dikirim ke Bandung untuk menghadiri Seskoad. Di sana, ia belajar tentang politik dan ekonomi, mata pelajaran penting bagi seorang prajurit dalam ketentaraan, ia juga mendapatkan lebih banyak dan lebih terlibat dalam menjalankan pemerintahan. Amirmachmud juga berkenalan dengan Soeharto selama waktunya di Seskoad.

Tahun 1965, Amir Machmud diangkat menjadi Panglima Kodam V/JAYA. Dari sinilah bintang terang kariernya mencuat. Saat situasi kondisi Indonesia tak menentu pasca G30S/PKI, bersama dua jenderal lainnya, Basuki Rahmat dan M Jusuf, Amir Machmud pergi menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor. Banyak versi soal cerita selama mereka di Istana Bogor. Yang pasti, pulang dari Istana Bogor, tiga jenderal ini membawa surat perinta sebelas maret (Supersemar) untuk diserahkan kepada Jenderal Soeharto. Berbekal Supersemar itulah, Soeharto membubarkan PKI dan menertibkan situasi politik. Ia pun mengendalikan jalannya pemerintahan dan selanjutnya seperti kita tahu semua, Soeharto menjadi presiden Orde Baru hingga 32 tahun lamanya.

    Amir Machmud (kiri), Basuki Rahmad (tengah), M Jusuf (kanan)                                                     Sumber: Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka

Bintang Amir Machmud pun naik terus. Ia didaulat menjadi Mendagri, menggantikan Basuki Rahmat yang meninggal mendadak.  Selama masa jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud mengembangkan reputasi sebagai orang yang "menyapu" oposisi dan pembangkang pemerintah. Hal ini membuatnya mendapatkan julukan "Buldoser". 

Amirmachmud juga menangani dengan keras orang-orang yang masuk penjara karena diduga menjadi terlibat dengan PKI. Pada tahun 1981, ia memerintahkan bahwa mantan narapidana mesti diberi pengawasan khusus.

Amirmachmud juga membantu memperkuat kontrol Suharto di Indonesia. Pada tahun 1969, ia melarang PNS untuk terlibat dalam politik, tetapi mendorong mereka untuk memilih Golkar pada Pemilu Legislatif sebagai tanda kesetiaan kepada pemerintah. Pada tahun 1971, Amirmachmud berpengaruh dalam pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).

Selain menjadi Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud juga Ketua LPU. Pemilihan legislatif 1971, 1977, dan 1982 diselenggarakan di bawah pengawasannya.

Pada tahun 1982, Amirmachmud terpilih sebagai ketua MPR dan seperti semua pimpinan MPR lainnya, ia juga merangkap sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Amirmachmud memimpin Sidang Umum MPR 1983 yang menghasilkan Suharto terpilih untuk masa jabatan ke-4 sebagai Presiden dengan Umar Wirahadikusumah terpilih menjadi Wakil Presiden. Di bawah kepemimpinannya, MPR juga menganugerahi Suharto gelar "Bapak Pembangunan" atas apa yang telah diraihnya.
 
Di DPR, Amirmachmud memimpin lewat undang-undang reorganisasi struktur MPR, DPR, dan DPRD, menetapkan aturan untuk partai politik, dan meletakkan pedoman untuk referendum.

 Amirmachmud pensiun setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Ketua MPR/DPR.
Amir Machmud memiliki dua anak dari pernikahan pertama dengan RH Siti Endah Chadijah, yaitu Anon Badariah dan Bambang Permadi. 

                                                 Sumber: Buku Otobiografi Amir Machmud "Prajurit Pejuang"

Istrinya meninggal di Cibeber dan dimakamkan di halaman masjid dekat rumah Amir. Di situ dimakamkan pula ayah dan nenek Amir, Sangki. Lalu uyut RH Abdul Halim dan istrinya Nuriah, dan lain-lain. Setelah istrinya meninggal, Amir Machmud menikah lagi dengan Shri Hardhani.  Amir Machmud meninggal dunia pada usia 72 tahun, tepatnya pada 21 April 1995 di Cimahi.
 Kini nama Amir Machmud diabadikan sebagai nama jalan protokol di Kota Cimahi. (*)