Tuesday, November 8, 2016

Kiprah Pesepakbola Asal Tjimahi di Timnas Hindia Belanda

Oleh Kang Ope*




PERSEPAKBOLAAN di Hindia Belanda dahulu telah melahirkan beberapa klub lokal yang berkualitas, sebut saja di Kota Bandoeng ada L.A. = Luchtvaart Afdeeling, L.U.N.O. = Laat U Niet Overwinnen, Sidolig  = Sport in de open lucht is gezond, U.N.I.   = Uitspanning Na Inspanning. 

Siapa sangka di Cimahi Baheula juga ada klub sepakbola yang mengikuti turnamen di Kota Bandung melawan klub-klub sohor yang penulis sebutkan tadi. Velocitas van Tjimahi nama klub tersebut, bermarkas di Velocitas Terrein atau Lapangan Rajawali sekarang, adalah wadah resmi klub sepakbola yang sejatinya berisikan pemain dengan latar belakang militer. Sementara rival mereka di Bandung juga mendirikan klub sepakbola dengan materi para personel militer dengan nama klub SPARTA Bandoeng yang bermarkas di Lapangan Sparta yang kini menjadi Stadion Siliwangi.

Kiprah klub sepakbola Velocitas van Tjimahi pada Turnamen Sepakbola di Kota Bandung, yang digelar dari tahun 1915 hingga tahun 1939 mampu meraih juara sebanyak 2 kali, yaitu pada musim 1927/1928 dan musim 1931/1932. Selain itu, Velocitas van Tjimahi berhasil menelurkan seorang striker berkelas bernama S. Lontoh, yang kelak mengisi posisi striker utama di Tim Nasional Hindia Belanda.

S Lontoh mengawali karier di Tim Nasional Hindia Belanda saat melakukan sejumlah pertandingan resmi FIFA di Manila Filipina yang berjuluk Far Eastern Games. Ia bersama ke-20 pemain lainnya dipanggil memenuhi tugas membela Hindia Belanda. Ke-20 pemain tersebut diantaranya adalah Asmoeadji, Amrein,Baumgarten, Caumans, Denkelaar, Goyers, Hiangwan, Hong Djien, Jahn, Johannes, Kok Bo, Lontoh, Meeng,Nawir, Gnong Rhorig,Titalepta, Tjan Hin Kie, Tjin Hoat, dan De Wolff. Ke-20 pemain tersebut menjalani pemusatan latihan di Cimahi pada bulan April 1934 selama satu minggu.

S. Lontoh menurut laporan resmi RSSSF (sebuah wadah statistik pertandingan sepakbola dunia) mencatat bahwa dia hanya satu kali membela Tim Nasional Hindia Belanda yakni pada tanggal 19 Mei 1934 dengan mencetak 2 gol. Kedua gol tersebut ia peroleh saat Hindia Belanda membantai Tim Nasional Jepang dengan skor fantastis 7 – 1 di Manila. 

Satu peringkat di bawah topskor sepanjang masa Tim Nasional Hindia Belanda yakni Ludwig Jahn, pesepakbola asal Klub Hercules Batavia dan Tio Hian Goan pesepakbola asal klub Tiong Hoa Soerabaia dengan torehan masing-masing sebanyak 3 gol. Sayangnya performa pada pertandingan kedua melawan Timnas China kalah 0 – 2, dan pada pertandingan ketiga melawan Timnas Filipina kalah dengan skor 2 – 3.

Selepas Far Eastern Games di Manila Filipina, kiprah S. Lontoh menurun, ia tidak dipanggil lagi oleh Timnas Hindia Belanda untuk berkiprah di pentas Piala Dunia Perancis 1938.  (*)

* Kang Ope adalah Mochamad Sopian Ansori, pegiat jelajah di sejumlah komunitas, termasuk Tjimahi Heritage.


Sumber :
Dutch East Indies city Championship available online at http://www.netlibrary.net/articles/eng/Dutch_East_Indies_city_champions
Dutch East Indies - International Players available online athttp://www.rsssf.com/miscellaneous/indie-recintlp.html

Wednesday, August 10, 2016

Sekolah Tukang Kuda

Oleh Kang Mac
 
PEMERINTAH Kolonial Belanda benar-benar mempersiapkan kehadiran garnizun Cimahi secara matang. Semua urusan dan kebutuhan permiliteran disiapkan sedemikian rupa agar tidak menjadi kendala bagi pasukan KL dan KNIL.
 

Salah satu kesatuan yang berbasis di Cimahi adalah Artileri. Markas besarnya adalah Depot Mobile Artillerie (DMA). Lokasi DMA adalah yang kini ditempati Pusdik Armed Baros.
 

Nah pada peta Tjimahi tahun 1940 ini ada sebuah tempat bernama Hoefsmidschool. Saya penasaran apa Hoefmidschool itu. Ternyata itu adalah Sekolah Ladam Kuda alias Sakola Tukang Kuda. 





Lokasinya kini ada di Jalan Terusan Tol Baros (HMS Mintaredja). Namun bangunannya tinggal sebagian, karena tergerus jalan terusan tol tersebut. Kini bangunan itu dipakai markas Zeni Bangunan Kodam III Siliwangi.
 

Sekolah ini dibutuhkan oleh pasukan Kavaleri dan Artileri sekaligus. Mengapa? Kavaleri tentu sudah jelas karena urusannya dengan perkudaan. Nah Artileri pun membutuhkan tukang ngurus kuda ini, karena DMA memakai meriam-meriam gunung yang berat banget yang ditarik oleh kuda. Kuda-kuda itu dikandangkan di Istal-istal kuda di kompleks Basis.
 

Tahun 1936, Direktur Hoefsmidschool ini adalah seorang militaire Paardenarts (dokter hewan militer bagian kuda), yaitu J. R. G. la Bastide. Sedangkan pada tahun 1939, la Bastide diganti oleh Jhr. Dr. W. Strick van Linschoten. (*)

Saturday, May 14, 2016

Ini Bekas Gedung Neutraal Militair Tehuis (NMT) yang Sesaat Lagi Lenyap

Oleh Kang Mac 

SELAIN gedung Societeit untuk perwira (sekarang gedung Historich) dan Societeit untuk serdadu tentara berpangkat rendah (sekarang gedung Siliwangi Kodim), ada beberapa rumah di kawasan Cantineweg (Jalan Gatot Subroto Tagog), yang juga dijadikan tempat rekreasi bagi para tentara yang dibuat khusus berdasar agama. 



Ada Katholieke Militair Tehuis (KMT), ini diperuntukan buat tentara beragama Katolik. KMT kini menjadi Gereja Agustinus. Lalu ada pula Protestan Militair Tehuis (PMT), buat tentara beragama Protestan. 

Lokasinya di pinggir Gereja Pasundan sekarang. Dan terakhir ada Neutraal Militair Tehuis (NMT), ini rumah buat tentara di luar Katholik dan Protestan, baik itu Yahudi, Atheis dll. 


 Nah berdasarkan peta Tjimahi tahun 1940, terlihat bahwa NMT berada di dekat pertigaan Tagog. Lokasinya kini menjadi swalayan dan sebuah rumah yang nyaris ambruk. Bahkan sekarang lokasi itu sudah dikelilingi seng. Entah mau dibangun apa. Sekali lagi, kita bakal kehilangan memori kota. (*)

Thursday, May 12, 2016

Asal Usul Nama Citeureup (Toponimi Nama-nama Daerah di Cimahi -2)

Oleh Kang Mac
CITEUREUP. Merupakan nama salah satu kelurahan di Kecamatan Cimahi Utara. Tak hanya di Cimahi, di beberapa daerah lain di Jabar ada beberapa tempat yang diberi nama Citeureup, seperti Citeureup Kabupaten Bogor. Citeureup berasal dari dua kata, yaitu Ci dan Teureup. Ci asal kata dari Cai, yang berarti air. Teureup adalah jenis tumbuhan yang berkerabat dengan nangka dan campedak. Mungkin masih ada yang ingat dengan istilah Leugeut Aing Leugeut Teureup atau cerita Si Leugeut Teureup. 



Dulu, kalau mau berburu burung, pasti pakai getah pohon Teureup ini. Dari beberapa sumber, tanaman Teureup memiliki nama Latin, Artocarpus elasticus. Di beberapa daerah lain di Indonesia, pohon Teureup disebut Benda atau Bendha. Masyarakat daerah lainnya menyebut nama yang beragam untuk Teureup ini. Misalnya kalam (Mentawai), torop (Karo), Bakil (Melayu), dan tarok (Minangkabau), kokap (Madura), taeng (Makassar), dan Torop (Batak).

Pohon Teureup bisa punya tinggi hingga 65 meter. Kulit pohon berwarna abu – abu gelap hingga kelabu kecokelatan. Bagian dalamnya kekuningan hingga cokelat pucat, teksturnya halus atau agak bersisik. Saat dilukai, kulit kayu mengeluarkan lateks tebal berwarna putih. Nah, yang khas dari Teureup adalah buahnya. Bentuknya bulat dan berduri, sekilas seperti rambutan. Tapi jangan coba memakannya, rasanya tak seperti rambutan Rapi'ah. Apakah masih ada pohon Teureup di daerah Citeureup Cimahi Utara? (*)

Sunday, February 21, 2016

Asal Usul Leuwigajah (Toponomi Nama-nama Daerah di Cimahi -1)

oleh Kang Mac

MENGAPA ada nama Leuwigajah di Cimahi? Apa dulu memang pernah hidup Gajah di Cimahi, terus mandi di Leuwi? Begitu pertanyaan beberapa kawan soal toponimi atau asal usul nama Leuwigajah.
 

Sebelum mengupas nama Leuwigajah, perlu diketahui sebelumnya, bahwa binatang Gajah sudah lama hidup di tanah Sunda. Gajah purba pernah hidup di Tatar Sunda sekitar 35 ribu tahun yang lalu. Fosilnya ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung. Juga ditemukan di Baribis Majalengka, Cibinong Bogor, Cikamurang, dan Tambakan Subang.
 

 Lalu memasuki fase sejarah, di zaman kerajaan Tarumanagara, abad ke 4 Masehi hingga 7 Masehi, binatang Gajah pun familiar dan dikenal masyarakat. Salah satu buktinya adalah Prasasti Kebon Kopi peninggalan raja termasyhur Tarumanagara, Maharaja Purnawarman, yang ditemukan di kebun kopi milik Jonathan Rig di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
 

Selain tulisan beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, pada prasasti itu, terdapat lukisan tapak kaki gajah. Tulisan prasasti itu berbunyi "jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam" (Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa). Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra, dewa perang dan penguasa guntur.
 

Kekuatan binatang gajah ini juga menjadi inspirasi pemberian nama. Misalnya saja, Prabu Gajah Agung, raja Sumedanglarang, keturunan Prabu Tajimalela. Nama lahirnya adalah Atmabrata, namun saat jeneng jadi raja menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Agung, ia memakai nama nobat Prabu Gajah Agung. Kini nama Prabu Gajah Agung diabadikan sebagai nama jalan di Sumedang kota.
 

Selain nama Gajah, untuk menyebut binatang besar itu, masyarakat pun mengenal nama Liman, berasal dari bahasa Sanskerta. Liman pun dipakai sebagai nama orang. Misalnya, Rajaputera Suraliman, adalah raja kedua Kerajaan Kendan di Nagreg. Lalu ada pula nama Liman Sanjaya. Dalam Babad Limbangan, disebutkan, Liman Sanjaya adalah putra dari Prabu Siliwangi hasil perkawinannya dengan Nyi Putri Limbangan, anak Sunan Rumenggong. Ia menjadi Prabu di Kerajaan Dayeuh Luhur atau Dayeuh Manggung.
 

Nama Liman dijadikan pula sebagai nama tempat, yaitu Palimanan. Malah di Cirebon pun, ada nama Pagajahan. Konon, diberi nama Pagajahan, karena banyak terdapat gajah-gajah pemberian dari negeri asing kepada Cirebon. Nama gajah juga dikenal dalam carita pantun Sunda. Seperti Gajah Lumantung. Gajah Lumantung adalah nama seorang raja di daerah yang disebut Pasir Batang Lembur Tengah. 

Nah soal Leuwigajah, memang benar berasal dari cerita gajah yang mandi, lebih tepat, dimandikan di leuwi. Leuwi adalah kosakata bahasa Sunda. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira sama artinya dengan Lubuk.
Berdasarkan Babad Batulayang, seperti yang dikutip dalam buku Sejarah Cimahi, dulu Dalem Batulayang, yaitu Dalem Abdul Rahman, ditugaskan membantu VOC di Palembang. Jabatan Dalem Batulayang lalu diserahkan kepada adiknya. Tahun 1770, Abdul Rahman kembali pulang ke Batulayang, sambil membawa oleh-oleh berupa seekor gajah besar.
 


Karena itu pula, Abdul Rahman dikenal sebagai Dalem Gajah. Selama gajah itu hidup, selalu dimandikan di sebuah Leuwi atau lubuk di daerah Cimahi Selatan. Akhirnya, tempat itu pun dikenal sebagai Leuwigajah. Sementara bukit di belakang Cibogo, dikenal sebagai Gunung Gajah Langu. Disebut demikian, karena gajah yang diangon sampai ke bukit itu sering terlihat ngalangu (melamun, bhs Sunda).
 

Dalem Batulayang tinggal di daerah Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan  Kutawaringin. Karena gajah dari Palembang itu berkandang di sana, kampung itu pun dikenal pula sebagai Kampung Gajah. Lama-kelamaan, namanya bertambah menjadi Kampung Gajah Mekar dan Kampung Gajah Eretan.
 

Makam Dalem Abdul Rahman atau Dalem Gajah bisa ditemukan di Kampung Bojong Laja, Kutawaringin. Di Kampung Gajah Eretan, juga terdapat situs makam Embah Dalem Gajah. Bisa jadi ini petilasannya. Lalu, masih di Kutawaringin, juga ada makam Eyang Gajah Palembang. Sepertinya, ini adalah makam Gajah asal Palembang itu yang mati tua. (*)


Tulisan diambil dari blog keluargamac.blogspot.com. Klik link tulisan di sini.

Wednesday, February 3, 2016

Mencari Emmalaan F34

AKHIRNYA, ditemukan juga!. Sepucuk surat bercap pos Amsterdam itu ditujukan kepada Yang Terhormat H Swartsenburg, beralamat di Emmalaan F34 Tjimahi. Laan adalah bahasa Belanda yang berarti Jalan. Kata lain untuk menunjukkan jalan dalam bahasa Belanda, antara lain weg dan straat. Sayang titimanggsa surat ini tidak terbaca. Tapi kemungkinan besar, ini melayang ke Cimahi saat zaman kolonial Belanda, sebelum Jepang datang.



Awalnya saya mengira Emmalaan atau Jalan Emma adalah yang sekarang menjadi Jalan Sukimun. Mengapa demikian? Karena dulu, sekitar tahun 1890-an, di jalan itu berdiri dengan megah sebuah hotel bernama Hotel Emma.


Hotel itu kemudian direnovasi dan berganti nama menjadi Hotel Berglust. Administrateurnya atau pengelolanya adalah Tuan LGFJ Sterrenburg. Dia pula yang mengelola hotel Pension Tijhoff di Cantineweg, yang kini menjadi Toko Kue Sus Merdeka di Jalan Gatot Subroto Cimahi. Namun pencarian di Jalan Sukimun tak membuahkan hasil. Tak ada nomor rumah yang diawali huruf F.

Beruntung, pencarian makin mudah, ketika saya menemukan peta Tjimahi tahun 1940. Ini sebenarnya peta biasa yang sudah saya punya dan banyak pula bertebaran di internet. Namun, diteliti lebih jauh, ternyata peta yang ini lebih lengkap. Di peta itu dicantumkan nama sejumlah lokasi, termasuk nama jalan, secara jelas.
Di peta itu pula terbaca, walau agak sulit karena huruf-hurufnya kecil dan berdempetan, nama Emmalaan atau Jalan Emma yang berlokasi di Jalan Urip Sumohardjo sekarang. Kemarin sore, Minggu (15/11), saya menyempatkan mampir untuk mencari rumah F34 itu.

Motor saya jalankan perlahan-lahan, karena ingin melihat nomor rumah lebih jelas. Ternyata benar, rumah-rumah di sini berkode F. Dari sebelah utara, nomor rumah dimulai dari nomor 26. Agak deg-degan juga, khawatir tidak ada nomor 34. Sampai akhirnya tiba di pojokan sebelah selatan, ternyata itu dia rumah bernomor F34.

Rumah bercat putih itu masih menyisakan arsitektur zaman Belanda. Tapi bagian depannya sudah direnovasi dengan gaya arstitekur modern. Gerbang berwarna biru menutup rumah itu.

Saya hanya bisa memotret rumah itu dari luar. Karena hari sudah sore dan terburu-buru, saya tidak sempat bertanya-tanya soal siapa penghuni rumah itu sekarang.

Rumah itu berada di sebelah timur Militair Hospital atau RS Dustira, bagian dari sebuah kompleks perumahan kecil yang membentuk setengah lingkaran. Bagian tengah kompleks itu berupa taman, yang sekarang disebut Taman Urip. Sedikitnya ada 9 rumah di situ. zaman kolonial, rumah-rumah itu dihuni perwira menengah tentara Kerajaan Belanda.

Sekarang pun, penghuninya adalah para perwira menengah TNI AD. Jenderal Urip Sumohardjo, Kepala Staf TNI pertama, pernah tinggal di Cimahi sebelum Jepang masuk dan setelah Jepang menyerah. Apakah beliau pernah tinggal di kompleks ini? Perlu penelusuran lagi.
(*)
Tulisan diambil dari blog keluargamac.blogspot.com dengan judul yang sama. Klik sumber asli.

Blogger: Jelajah Kamp Interniran Jepang Baros 6

DIANTARA para pegiat Tjimahi Heritage Trail, ada beberapa yang selalu menuliskan hasil jelajahnya. Salah satunya adalah Kang Andrenaline Katarsis. Berikut cuplikan tulisan Kang Andre di blognya, jelajahcimahi.blogspot.com  dengan judul Jelajah Kamp Interniran Jepang - Baros 6.


Hari Minggu, 5 April 2015, untuk pertama kalinya saya mengikuti acara wisata sejarah bersama komunitas penggiat sejarah Kota Cimahi, Tjimahi Heritages Trail, menapaktilasi lokasi kamp interniran Jepang yang berada di Baros, Kota Cimahi. Setelah sekian kalinya saya bergabung dan berkomunikasi secara virtual, dengan melempar isu sejarah sekaligus menjadi pancingan saya untuk mengetahui sejarah Cimahi melalui grup Facebook Tjimahi Heritages, baru kesempatan inilah akhirnya saya bisa bertemu langsung alias kopi-darat dengan anggota grup. Momen ini menjadi awal yang penting, karena biasanya saya melakukan blusukan ke kota Cimahi sendirian, dengan segala aspek kekurangannya, maka pada kesempatan ini saya aprak-aprakan secara rombongan, tentu saja dengan segala kelebihannya.



Sesuai jadwal acara dimulai jam 08.00 pagi, dengan terlebih dahulu berkumpul di Taman URIP yang terletak di jalan Urip Sumoharjo, Cimahi. Setelah saya memarkir motor di parkiran Rumah Sakit Dustira, saya hanya perlu waktu sekitar 10 menit berjalan kaki menuju Taman Urip. Dari kejauhan saya melihat sudah ada yang berkumpul disana. Saya kemudian mencoba sedikit mengingat-ingat paras wajah-wajah yang biasanya hanya saya lihat di foto grup. Karena interaksi komunikasi saya di grup itu bisa dibilang cukup rutin, jadi hanya ada beberapa wajah dengan mudah bisa saya kenali. Ada Iwan Hermawan, kang Machmud Mubarok, kang Dede Syarif HD, kang Yarman Mourly dan Mochamad Sopian Anshori dan beberapa wajah yang sebenarnya familiar tapi rasanya sulit untuk mengingat sepotong namanya. Acara ini ternyata diikuti juga oleh beberapa siswa kelas VI SD Lingga Budi. Tanpa ada rasa kikuk dan kaku, saya langsung menyalami dan bertukar sapa dengan mereka. 
Tulisan selengkapnya bisa dibaca di blog  Kang Andrenaline. Klik saja. (kang mac)

Tjimahi Heritage Trail: Jelajah Kamp Interniran Jepang Baros 6 Dalam Media

ALHAMDULILLAH, kegiatan Tjimahi Heritage Trail: Jelajah Kamp Interniran Jepang di Baros diliput oleh wartawan Pikiran Rakyat, Ririn Nf. Berikut hasil liputannya yang ditulis secara serial dalam lima tulisan mulai Senin 6 April 2015 sampai Jumat 10 April 2015.
Serial Ke 1

 Serial ke 2:

 Serial ke 3:
 Serial ke 4:
 Serial ke 5:

Saturday, January 30, 2016

Tjimahi Heritage Trail 1: Jelajah Kamp Interniran Jepang Baros 6

INI jelajah, atau Trail dalam istilah TH, sekaligus menjadi kopi darat pertama Tjimahi Heritage. Setelah sekian lama, hanya kongkow di grup Facebook dan kegiatan CDB (Cimahi Dalam Bingkai) yang vakum. Saya dan Kang Iwan memilih tema Kamp Interniran Baros 6, karena paling mudah dijangkau. Rutenya tidak terlalu jauh. Perizinan tak ribet. Saya hanya menghubungi Ketua RW Baros Kompleks, karena akan melewati kompleks itu.

Minggu pagi, 5 April 2015. Titik pertemuan sudah ditetapkan di Taman Urip samping RS Dustira, Jalan Urip Sumohardjo. Ini taman yang kembali ditata oleh Pemkot Cimahi. Di zaman kolonial, taman ini bernama Emma Park. Jalan Urip dulu bernama Emmalaan. Nama Emma, sama dengan nama Hotel Emma di daerah Sukimun (Schoolweg). Nama itu mengacu pada nama Ratu Emma, istri kedua Raja Willem III yang berkuasa pada 1817-1890. 

Kang Iwan sudah stand by sebelum pukul 08.00. Sejumlah peserta mulai berdatangan. Satu sama lain banyak yang belum kenal. Akhirnya berkumpullah sekitar 40 orang, bahkan lebih, di Taman Urip. Ada pegiat-pegiat Cimahi yang ikut serta, seperti seniman Kang Dede Syarif, Kang Budi Raharjo, Kang Heru Hermawan, dan Teh Primas. Lalu hadir pula Mas Suyanto Lumaksono dari gereja St Ignatius, kang Andrenaline Katarsis dan Kang Moh Sopian Ansori dari Balad Junghuhn. Rupanya kegiatan ini pun "dipantau" orang Bandung. Itu terlihat dari kehadiran Bu Endang Arie Soedarmojo, pegiat segala jelajah.  

Yang lebih menyenangkan, ikut serta pula adik-adik dari SD Kihapit (Lihat foto di sini). Mereka yang duduk di bangku kelas 6 ini diajak oleh gurunya, Teh Erwanti. Alasannya, supaya tahu sejarah Cimahi. 


Tentu banyak wajah-wajah baru yang kenal belakangan, seperti Pak Aryadi, Kang Agung, Mbak Yustinia, dan lain-lain. Ada juga senior-senior saya di SMA dulu, Kang Yarman dan istrinya, Teh Lisna.

Setelah perkenalan, kami kemudian berfoto-foto di Taman Urip dan di depan asrama dokter RS Dustira. Selanjutnya, kami pun berdoa untuk memulai jelajah. Rombongan berjalan ke arah selatan, menuju kawasan Brigif di Kebon Rumput. Di sepanjang jalan, saya dan Kang Iwan bergantian memandu dan bercerita tentang kisah-kisah dan sejarah di seputaran kawasan Dustira, Ubug, Brigif, hingga ke Baros. 


Di lapang voli Adiraga, dekat Markas  Koramil, kami berhenti. Saya menerangkan tentang sejarah kompleks Kebun Rumput dan Basis. Dulu, kompleks ini merupakan kompleks perumahan serdadu dan perwira Depot Mobiele Artillerie (DMA). DMA kini menjadi Pusdik Artileri. Selain rumah serdadu, Kompleks Basis merupakan kandang kuda. 


Dulu kawasan ini disebut Graslanden, yang artinya padang rumput atau kebun rumput. Dipersiapkan sejak tahun 1910. Kawasan yang memang diperuntukan bagi keperluan kavaleri dan kuda-kuda penarik meriam artileri. Membentang luas dari belakang Pusdik Art hingga ke perbatasan jalan tol Cibebera sekarang. Orang setempat menyebutnya Kebon Jukut. Sampai tahun 90-an, nama Kebon Jukut masih eksis. Entah kenapa, sekarang berubah menjadi Kebun Rumput. Tapi tetap saja singkatannya mengandung diksi bahasa Sunda, Borum dari Kebon Rumput. 

Kebon Jukut menjadi tujuan para tukang delman dan juragan kuda di Cimahi dan sekitarnya. Waktu kecil, usia SD, saya sering diajak naik gerobak dari Parapatan Cihanjuang ke ATA (Akademi Teknik Ahmad Yani), cikal bakal Unjani, untuk mengambil rumput. Maklum Aki Oma, saudara jauh, merupakan juragan kuda dan delman di Parapatan. Namanya tenar hingga ke Lembang. Gerobak kudanya pernah dipakai Roma Irama waktu syuting film Satria Bergitar. 


Saat ini, sisa-sisa kejayaan Kebon Jukut nyaris tidak tersisa. Padang rumput itu sudah berubah menjadi Markas Brigif 15, menjadi perumahan, menjadi kampus Unjani, STKIP, Stikes, dan perkampungan masyarakat. Hanya ada sedikit lahan yang masih menyisakan rumput-rumput hijau di sebelah barat Unjani, dekat kampung Mekarsari. Setiap hari masih ada seorang pencari rumput yang menyabit rumput untuk dijual kepada pemilik kuda delman. Tukang rumput ini menyimpan rumput di tepi kali depan gerbang Unjani, untuk kemudian diambil oleh pemilik kuda setiap sore.

Dari lapang voli, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Kebun Rumput ke arah Brigif. Di sebelah kiri adalah jejeran rumah-rumah dinas militer yang sudah ada sejak jaman kolonial. Rumah-rumah ini dipakai para petinggi Garnizun Tjimahi. Pangkatnya minimal Mayor. Pangkat Mayor ketika itu adalah pemimpin Garnizun. Kabarnya salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda pernah pula tinggal di salah satu rumah ini. 


Di perempatan jalan, di sebelah kiri, ada bangunan yang sekarang dipakai TK Kartika. Ini juga salah satu bangunan heritage. Lalu kami berjalan kembali memasuki Jalan Ratulangi. 
Di zaman kolonial, jalan ini bernama Williamstraat (Jalan William). William mengacu pada nama raja Belanda. Kompleks Ratulangi inilah yang menjadi bagian dari kamp interniran, Baros Kamp 6. Beberapa rumah di kompleks ini pernah dijadikan rumah sakit darurat, untuk merawat para interniran yang sakit. 

Kondisi rumah-rumah di sini relatif masih utuh. Ada beberapa yang kosong tidak terawat. Ada pula rumah yang sudah direnovasi, menghilangkan bagian muka masa kolonial. Kebanyakan rumah di sini berbentuk kopel, satu atap untuk dua rumah. 




 Kami berhenti lebih dulu di Masjid Hizbul Wathon untuk beristirahat. Sambil duduk-duduk, peserta mendengarkan penjelasan dari Kang Iwan perihal Baros Kamp 6 ini. Kang Iwan membawa buku Mijn Kamp Niet Door Hitler, ini buku yang judulnya semacam plesetan dari buku Hitler, Main Kampf. Isinya bercerita tentang nasib interniran, salah satunya di Tjimahi. Buku lain yang menjadi panduan jelajah kali ini juga adalah Dalem Tawanan Djepang, karya Nio Joe lan. Nio merupakan interniran yang pernah merasakan pahitnya hidup di Kamp 4 (sekarang jadi Pusdikhub).


Di ujung Jalan Sam Ratulangi, sebelum ke jalan Baros, ada pertigaan yang membentuk letter U. Bentuk letter U ini sama dengan awal kami masuk ke Jalan Kebun Rumput. Jadi di masing-masing ujung bentuknya Letter U. Di sini ada rumah yang menghadap ke Jalan Baros, dulu Barosweg. Di belakangnya, ada rumah yang menghadap ke Jalan Sam Ratulangi. 

Dari kompleks Ratulangi, kami menyeberangi Jalan Baros, masuk ke Baros Kompleks. Inilah pusat dari interniran Kamp Baros 6, yang diperuntukan bagi wanita dan anak-anak. Sayang, rumah-rumah di kompleks ini sudah banyak yang berubah. Hanya beberapa yang mempertahankan bentuk asli. 

Dari beberapa sumber, diketahui, ada sekitar 16.000 orang interniran, terdiri atas orang Belanda, Jerman, dan juga Tionghoa, yang menghuni kamp-kamp buatan Jepang di Cimahi. Sebagian ada yang bisa bertahan, tapi sebagian tak mampu melanjutkan perjuangan hidupnya. Termasuk mereka yang meninggal adalah arsitek Thomas Karsten.


Dari Baros Kompleks, kami berjalan kembali ke Jalan Baros lalu mengarah ke utara, melewati Gereja Ignatius dan berakhir di Taman Kartini.  Di tempat ini, kami berkumpul dan sharing tentang beberapa kisah yang terlewat saat jelajah tadi. Trail pun ditutup dengan doa dan rasa syukur tak terhingga bahwa kegiatan berjalan lancar sesuai rencana. Tak lupa, tentu kita berfoto bersama dulu sebelum bubar.  



Sampai bertemu di Trail berikutnya. Salam Heritage! (kang mac)