Saturday, October 14, 2017

DAENG MUHAMMAD ARDIWINATA

NAMANYA diabadikan menjadi nama jalan, menggantikan nama Jalan Cihanjuang.  Nama Daeng identik dengan orang Bugis. Ya karena kakek Daeng Muhammad Ardiwinata adalah orang Bugis Makassar yang menikah dengan orang Sunda.
 

Ayah Daeng M Ardiwinata bernama Daeng Kanduruan Ardiwinata, seorang nasionalis yang juga salah seorang pendiri Paguyuban Pasundan. Dialah sastrawan Sunda yang pernah menerima penghargaan dari Belanda "Ridder in de Orde Van Oranye Nassau", karena jasanya di bidang budaya.



Daeng Muhammad Ardiwinata tinggal dan besar di Cimahi. Setelah lulus MULO, keburu Jepang datang. Daeng masuk pendidikan  Peta di Bogor. Ketika batalyon IV Peta di Cimahi bubar, Daeng bergabung dengan BKR, lalu TKR.
 

 Kompi Daeng begitu sebutan untuk pasukannya. Tergabung dalam Batalyon IV Momon Resimen 9 Gandawijaya yg bermarkas di Cililin. Kompi 1 Daeng berkedudukan di Cibabat-Cibeureum sampai Fokkerweg (kini Jln Garuda) Bandung.
 

Kompi Daeng inilah yang terlibat dlm berbagai medan pertempuran di Cimahi. Antara lain pencegatan konvoi tentara sekutu, bersama Hizbullah menyerang pabrik senjata ACW cabang Cibabat,
Pertempuran Alun-alun, pertempuran Cibabat, pertempuran Prapatan Cihanjuang dan yang paling heroik, pertempuran 4 hari 4 malam.
 

Dari kompi, pasukan Daeng berkembang jadi Batalyon 25, lebih terkenal dgn sebutan Batalyon Daeng.
Dari Cimahi, Batalyon Daeng ditarik ke Resimen 8 dan ditempatkan di Panjalu Garut dan Pangalengan.
Perjanjian Renville memaksa pasukan Siliwangi hijrah ke ibukota Yogyakarta.
 

 Batalyon Daeng turut menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Batalyon Daeng ditugaskan untuk membersihkan dan mengamankan lapangan terbang Maospati Madiun dan merebut kembali Cepu dari penguasaan PKI.
 

Saat longmarch bersama Pangdan Siliwangi Letkol Daan Yahya ditawan Belanda. Mereka dan juga Komandan CPM Cimahi FE Thanos ditahan di Nusakambangan. 
Akhir 1949 setelah pengakuan kedaulatan, Daeng menjadi Komandan Resimen 063/Sunan Gunung Djati Cirebon.

Tahun 1951 ia mengundurkan diri dari TNI.  Soal pengunduran diri ini ada banyak versi. Ada yang bilang karena sakit. Ada juga yang bilang karena menolak penugasan ke Makassar. Entah mana yang benar.  Pangkat terakhirnya adalah Kolonel.
 

 Pada tahun 1954 ia mendirikan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bersama Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kolonel Gatot Subroto dan diangkat sebagai Ketua IPKI Jawa Barat.
 

Pada tahun 1955 sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) RepubIik Indonesia
 

Pada tahun 1960 sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
 

Pada tahun 1967 s/d 1970 menjabat Direktur PPN Dwikora IV Perkebunan Teh di Subang.
Daeng tak pernah mengambil gaji dan pensiunan dari militer. Ia hanya membawa gaji saat jadi anggota DPR
Jabatan terakhir beliau adalah Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB).
 

Daeng wafat di usia 77 tahun tepatnya 15 April 2000. Sebelum wafat, Ia menolak dimakamkan di TMP Cikutra. Daeng lebih memilih dikebumikan di samping kuburan istrinya, Siti Rukayah, di Kampung Juntigirang Desa Banyusari Kecamatan Katapang Kab Bandung. Ketika itu ia meninggalkan 5 anak dan 11 cucu. (*)

Sumber tulisan: www.dickyrahmadie.blogspot.com

Tuesday, September 12, 2017

Abattoir Tjimahi, Usianya Hampir 101 Tahun

TAHU kan ini bekas bangunan apa? Yup, ini bekas Rumah Pejagalan Hewan (RPH) Cimahi. Lama terbengkalai, tak tentu nasibnya. Beberapa tahun lalu sempat diisukan bakal menjadi apartemen. Baliho iklannya segede gaban, tapi tidak tahu juntrungannya.
 

RPH Cimahi ini punya sejarah panjang, merentang sekitar 101 tahun. Wow!. Di zaman Belanda, namanya tentu bukan RPH, tetapi Abattoir, rumah jagal kecil. Begini cerita soal Abattoir ini. De Preanger Bode, koran berbahasa Belanda, 11 Januari 1913, memberitakan rencana pendirian rumah jagal di Bandung dan Cimahi. Perusahaan yang akan membangunnya adalah Jenne & Co di Batavia. Jenne & Co adalah importir sapi asal Australia dan bawang putih.
 

Koran Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 18 Oktober 1916 memberitakan soal pembukaan abattoir Tjimahi ini. Pengelola Abattoir ini ya Jenne & Co tadi itu. Lokasinya berada di Schoolweg (Jalan Sekolah). Sekarang namanya berganti jadi Jalan Sukimun, untuk mengenang pejuang Sukimun yang tewas ditembak Belanda di Baros.
 

Saat pembukaan abbatoir, pengelola mengundang para wartawan. Maka diperlihatkanlah sistem pemotongan ternak yang praktis, sangat efektif, lebih higienis, dan lebih etis. Pengaturan tempat pemotongan hewan dibuat sedemikian rupa, sehingga hewan yang akan dijagal tidak tersiksa.
 

Daging dari abattoir ini kebanyakan didistribusikan ke barak-barak tentara KNIL. Ingat, Cimahi itu garnizun militer. Kampement 4e dan 9e (sekarang jadi Pusdikhub dan Pusdikbekang) jadi markas utama tentara KNIL. Selain Bergartilleri (Yon armed 4), Depot Militaire Artillerie (Pusdik Armded), dan Genitropen (pusdik Pengmilum). Pasokan daging dari abattoir inilah yang menyumbang kalori terbesar untuk serdadu2 KNIL.
 

Dalam pemberitaan itu disebutkan pula, pembangunan Abattori menelan biaya 35.000 gulden. Kapasitas pemotongan mencapai 10 ekor hewan per hari. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 1 Juni 1927, disebutkan, rumah pejagalan Tjimahi dibeli oleh Pemerintah Daerah Priangan senilai 25.000 gulden dari NV Handelmaatschapaij Jenne & Co. Pemberitaan berikutnya pada 24 Juni 1927, RPH ini diserahkan Pemerintah Daerah Priangan kepada suatu badan usaha milik pemerintah di Kabupaten Bandung.
 

Entah sampai kapan RPH ini berfungsi. Yang pasti sejak tahun 80-an, kondisinya sudah memprihatinkan. Kini bangunan itu dihuni beberapa keluarga. Entah apa kaitannya dengan RPH. (*)

Sunday, September 3, 2017

Riwayat Bioskop Rio



Satu-satunya bangunan bioskop zaman Belanda  di Cimahi yang gedungnya masih bertahan. Namun bioskopnya sudah gulung layar.
Bioskop Rio merupakan bagian dari jaringan bioskop Elita Concern. Siapa lagi yang punya jaringan bioskop itu kalau bukan Si Raja Bioskop, FAA Busè.
 

Ya Busè adalah pemilik sejumlah bioskop kelas atas  di Bandung. Sebut saja nama bioskop Elita, Varia, Oriental, Luxor, Majestic dan Rex.  Pembangunan bioskop Rio ditandai dengan peletakan batu pertama oleh anak FAA Busè, Yvonne Francois Busè, pada 23 Oktober 1937.
 

Dari penelusuran admin TH, berdasarkan pemberitan koran2 lawas Belanda seperti De Preangerbode dan Batavianieuwsblad, bangunan bioskop sempat mengalami kerusakan dan baru bisa dioperasikan pada tahun 1947. Film pertama yang diputar berjudul Pardon My Sarong pada 23 Maret 1947. Lalu pada tanggal 31 Maret memutar film berjudul Tall in the Saddle.
 

Sejak itu Bioskop Rio konsisten memutar film2 Hollywood antara lain film Always in My Heart dan Now Voyager. Tak ketinggalan Rio pun memutar film Indonesia. Tjitra pada tahun 1951 dan Bakti pada 1955.
 

Bioskop Rio pun sempat dijadikan tempat kampanye pada Pemilu 1955, antara lain oleh Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bentukan AH Nasution.
 

Tahun 70-an sampai 80an, bioskop Rio dibanjiri film-film Mandarin khususnya kungfu. Nama2 beken seperti Wang Yu, Bruce Lee, Chen Lung, dan Lie Lien Cheh menghiasi poster film di depan dan lobi bioskop.
 

Film nasional berkelas seperti Sunan Kalijaga, Saur Sepuh juga diputar di sini. Selain poster, Rio pun mengandalkan selebaran pamflet yang disebar melalui mobil berpelantang keliling Cimahi. Anak-anak selalu berebutan selebaran itu setiap dilempar ke luar mobil.
 

Tahun 90an, ketika booming film esek-esek, Rio pun tak ketinggalan. Film Gadis Metropolis, Ranjang Berdarah, Setetes Noda Berdarah dengan poster besar terpajang vulgar.
 

Itulah hari-hari suram dan terakhir bioskop Rio. Bioskop yang dulu jadi kebanggaan warga Cimahi perlahan mulai surut dihajar zaman. Sampai akhirnya gulung layar.
 

Bangunannya sempat menganggur. Sekitar tahun 2010an, bioskop direvitalisasi. Sebagian besar masih tetap, terutama bagian atas. Namun bagian depan tembok dinding depan dan samping hilang. Padahal di situ ada plakat pendirian bangunan. Kini wajah Bioskop Rio berubah menjadi konter ponsel. (*)

Friday, March 3, 2017

Amir Machmud, Jenderal dari Pelosok Cibeber

Oleh Kang Mac

                                                           
                                                               Sumber: Buku Otobiografi Amir Machmud "Prajurit Pejuang"

ADA yang kenal dengan sosok remaja berusia 14 tahun ini? Tentu sulit mengenalnya. Tapi kalau disebutkan bahwa remaja tampan itu bernama Amir Machmud, pasti ingatan akan melayang pada sosok bertubuh besar yang pernah menjabat Mendagri di masa Orde Baru. Atau setidaknya nama itu tersangkut pada memori pelajaran sejarah, saat membahas soal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). 

Ya, Amir Machmud bersama dua jenderal lainnya, yaitu Basuki Rachmat dan M Jusuf, lah yang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor dan pulang membawa Supersemar untuk diserahkan kepada Jenderal Soeharto. Dari situlah, asal mula Orde Baru muncul dan berjaya selama puluhan tahun.

Amir Machmud adalah sosok pituin, asli, kelahiran Cimahi. Ia lahir di Kampung Nyenyerean, sebuah kampung kecil di pelosok Cibeber, Cimahi Selatan, 21 Februari 1923. Ayahnya Atang, ibunya bernama Nyimas Ganirah. Ayahnya bekerja sebagai pegawai di apotek Militair Hospitaal Tjimahi atau yang sekarang menjadi RS Dustira. Kelak, jalan di sebelah barat rumah Amir Machmud di Cibeber dari mulai belakang Unjani hingga ke pertigaan Ciseupan dinamakan Jalan Ibu Ganirah, merujuk pada nama ibunda Amir Machmud. Sementara jalan di depan rumah Amir diberi nama Jalan ibu Sangki, mengacu pada nama nenek Amir Machmud.

Ayah Amir berasal dari daerah Babakan, di Cianjur. Sementara ibunya adalah keturunan menak, putri dari Nyima Sangki. Nenek Amir Machmud itu merupakan keturunan keenam R Wirakusumah, Dalem Dayeuh Luhur di Purwakarta. Dari Wirakusumah itu turunlah R Rangki yang semasa hidupnya menguasai wilayah Leuwigajah dan Cibeber. Lalu R Rangki ini menurunkan R Anggadiria yang dikenal sebagai Khalifah Cimahi. Beliau menurunkan RH Abdul Halim yang menikah dengan R Nuriah, putri dari Penghulu Cimahi RH Kahpi. Dari perkawinan inilah lahir Nyimas Sangki. 



Namun menurut Amir Machmud, seperti dikutip dari buku otobiografinya Prajurit Pejuang, keluarganya pun memiliki hubungan dengan Embah Dalem Kabul yang makamnya berada di Desa Eretan, Buni Buana, Soreang. Embah Dalem ini yang dikenal dengan sebutan Embah Santoan Kabul. Salah satu putranya, Embah Dalem Kiai Abdurrahman adalah orang yang terkenal dengan sebutan Dalem Gajah, karena memiliki tiga ekor gajah. Nama lubuk di sungai yang dipakai untuk memandikan gajah-gajahnya itu disebut Leuwigajah. Kini Leuwigajah menjadi nama kelurahan di Cimahi Selatan.

Rumah keluarga Amir Machmud di Cibeber sangat luas. Malahan kata Amir Machmud, masih dari buku Prajurit Pejuang, sebagian tanah mereka dijadikan sebagai kawasan Grasland atau Kebon Jukut atau sekarang dikenal sebagai Kebon Rumput. Kebon Rumput itu digunakan sebagai lahan pakan bagi kuda-kuda milik Depot Mobiele Artillerie (DMA) yang tugasnya menarik meriam-meriam berat ke tempat latihan di Gunung Bohong atau ke medan pertempuran.  Kuda-kuda itu pun dipakai sebagai alat transportasi para perwira.

Ayah Amir Machmud juga memiliki rumah di daerah Kaum Kulon. Rumah itu diwakafkan kepada masyarakat setelah Pak Atang meninggal pada usia 93 tahun dan dijadikan madrasah. Di daerah itu, ayah Amir dikenal dengan panggilan Enggah. 

Amir Machmud merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Enam kakak beradik itu adalah:
1. RE Umar Abdullah (alm), semasa hidup menjadi pegawai pada Kantor Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung
2. NR Eulis Sumarni, menikah dengan Njum Suwardi, pensiunan pegawai negeri dengan jabatan terakhir Kepala Kantor Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung.
3. Amir Machmud
4. RH Kamar Toeti Achmar, anggota TNI berpangkat Kapten sampai 1948, kemudian menjadi pegawai Depdikbud.
5. NR Noecky Sukarsih, menikah dengan Mayor Hamid yang gugur di Purwakarta dalam pertempuran melawan pasukan Belanda
6. NR Bunga Nawangsih.

Usia lima tahun, Amir Machmud masuk sekolah TK (Kleuter School di Bandung). Keluarga Amir memang pindah ke Dago tahun 1926. Ketika itu ayah Amir mendapat pekerjaan yang lebih baik di Kantor Pekerjaan Umum Regentschapwerken  Bandung sebagai Wegoopziener (pengawas jalan raya) dan Rooimester (pengawas bangunan rumah)

Saat Jepang masuk menjajah Indonesia, pemuda Amir pun turut serta mengikuti pendidikan PETA. Semula ia dididik di kamp Tjimahi, lalu dipindahkan ke Bogor. Setelah Indonesia Merdeka, Amir pun masuk dalam barisan BKR, TKR, TRI dan TNI.

Seperti ditulis Wikipedia., pada tahun 1946, setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didirikan, BKR Lembang telah diintegrasikan ke Kodam VI/Siliwangi (Divisi Siliwangi), sebuah komando regional militer yang bertanggung jawab atas keamanan Jawa Barat. Amirmachmud kemudian dipindahkan ke Bandung Utara, di mana ia membiarkan pasukannya dalam pertempuran melawan pasukan Inggris dan pasukan Belanda, yang sangat ingin mempertahankan wilayah kolonial mereka.

Amirmachmud dan KODAM VI/Siliwangi kemudian dipaksa untuk meninggalkan Jawa Barat pada tahun 1948 setelah penandatanganan Perjanjian Renville. Berdasarkan perjanjian ini, Pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengakui wilayah yang telah diambil di bawah kontrol Belanda dan ini termasuk Jawa Barat. Di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution, KODAM VI/Siliwangi dipindahkan ke Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, Amirmachmud bergabung dengan pasukannya dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Pada tahun 1949, ketika masa-masa awal Belanda untuk keluar dari Indonesia, Amirmachmud dan pasukannya kembali ke Jawa Barat. Disana, Amirmachmud terlibat dalam pertempuran melawan gerakan Darul Islam, kelompok separatis yang ingin mendirikan Indonesia yang teokratis di bawah agama Islam. Pada tahun 1950, Amirmachmud juga terlibat dalam penumpasan terhadap Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah kelompok militer yang masuk ke Bandung dan mulai membidik prajurit TNI.

Setelah situasi mulai tenang, Amirmachmud memiliki karier militer yang relatif lancar dan menjabat sebagai Panglima Batalyon di Tasikmalaya dan Garut sebelum diangkat menjadi Kepala Staf Resimen di Bogor. Setelah mengabdi di Bogor, Amirmachmud menjabat sebagai Kepala Staf Panglima KODAM VI/Siliwangi.

Pada tahun 1958, Amirmachmud dipindahkan ke Jakarta di mana ia bekerja sebagai anggota staf di markas besar Angkatan Darat selama dua tahun.

Pada tahun 1960, Amirmachmud dikirim ke Bandung untuk menghadiri Seskoad. Di sana, ia belajar tentang politik dan ekonomi, mata pelajaran penting bagi seorang prajurit dalam ketentaraan, ia juga mendapatkan lebih banyak dan lebih terlibat dalam menjalankan pemerintahan. Amirmachmud juga berkenalan dengan Soeharto selama waktunya di Seskoad.

Tahun 1965, Amir Machmud diangkat menjadi Panglima Kodam V/JAYA. Dari sinilah bintang terang kariernya mencuat. Saat situasi kondisi Indonesia tak menentu pasca G30S/PKI, bersama dua jenderal lainnya, Basuki Rahmat dan M Jusuf, Amir Machmud pergi menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor. Banyak versi soal cerita selama mereka di Istana Bogor. Yang pasti, pulang dari Istana Bogor, tiga jenderal ini membawa surat perinta sebelas maret (Supersemar) untuk diserahkan kepada Jenderal Soeharto. Berbekal Supersemar itulah, Soeharto membubarkan PKI dan menertibkan situasi politik. Ia pun mengendalikan jalannya pemerintahan dan selanjutnya seperti kita tahu semua, Soeharto menjadi presiden Orde Baru hingga 32 tahun lamanya.

    Amir Machmud (kiri), Basuki Rahmad (tengah), M Jusuf (kanan)                                                     Sumber: Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka

Bintang Amir Machmud pun naik terus. Ia didaulat menjadi Mendagri, menggantikan Basuki Rahmat yang meninggal mendadak.  Selama masa jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud mengembangkan reputasi sebagai orang yang "menyapu" oposisi dan pembangkang pemerintah. Hal ini membuatnya mendapatkan julukan "Buldoser". 

Amirmachmud juga menangani dengan keras orang-orang yang masuk penjara karena diduga menjadi terlibat dengan PKI. Pada tahun 1981, ia memerintahkan bahwa mantan narapidana mesti diberi pengawasan khusus.

Amirmachmud juga membantu memperkuat kontrol Suharto di Indonesia. Pada tahun 1969, ia melarang PNS untuk terlibat dalam politik, tetapi mendorong mereka untuk memilih Golkar pada Pemilu Legislatif sebagai tanda kesetiaan kepada pemerintah. Pada tahun 1971, Amirmachmud berpengaruh dalam pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).

Selain menjadi Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud juga Ketua LPU. Pemilihan legislatif 1971, 1977, dan 1982 diselenggarakan di bawah pengawasannya.

Pada tahun 1982, Amirmachmud terpilih sebagai ketua MPR dan seperti semua pimpinan MPR lainnya, ia juga merangkap sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Amirmachmud memimpin Sidang Umum MPR 1983 yang menghasilkan Suharto terpilih untuk masa jabatan ke-4 sebagai Presiden dengan Umar Wirahadikusumah terpilih menjadi Wakil Presiden. Di bawah kepemimpinannya, MPR juga menganugerahi Suharto gelar "Bapak Pembangunan" atas apa yang telah diraihnya.
 
Di DPR, Amirmachmud memimpin lewat undang-undang reorganisasi struktur MPR, DPR, dan DPRD, menetapkan aturan untuk partai politik, dan meletakkan pedoman untuk referendum.

 Amirmachmud pensiun setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Ketua MPR/DPR.
Amir Machmud memiliki dua anak dari pernikahan pertama dengan RH Siti Endah Chadijah, yaitu Anon Badariah dan Bambang Permadi. 

                                                 Sumber: Buku Otobiografi Amir Machmud "Prajurit Pejuang"

Istrinya meninggal di Cibeber dan dimakamkan di halaman masjid dekat rumah Amir. Di situ dimakamkan pula ayah dan nenek Amir, Sangki. Lalu uyut RH Abdul Halim dan istrinya Nuriah, dan lain-lain. Setelah istrinya meninggal, Amir Machmud menikah lagi dengan Shri Hardhani.  Amir Machmud meninggal dunia pada usia 72 tahun, tepatnya pada 21 April 1995 di Cimahi.
 Kini nama Amir Machmud diabadikan sebagai nama jalan protokol di Kota Cimahi. (*)

Thursday, February 16, 2017

Balong PE

Oleh Kang Iwan Hermawan
 
BALONG  PE demikian orang-orang menyebutnya. Berlokasi di komplek brigif 15 Kujang di daerah Baros Cimahi.
 

Entah penulisannya PE atau VE entahlah, sy liat di suatu majalah lawas Netherlands indische Leven terbitan 1930 kolam ini sudah ada dengan sebutan Visvijver yg artinya kolam ikan.
Di foto lama itu terlihat latar belakang kolam yaitu gunung padakasih dan gunung Aseupan yg keduanya sekarang mulai berubah bentuk.



                                       Balong PE di kompleks Brigif 15. Foto: Iwan Hermawan
 


 Kembali ke kolam, daerah itu dahulu merupakan padang rumput luas, rumput tersebut diperuntukan kuda-kuda penarik meriam. Penamaan PE masih misteri, mungkinkah penamaan itu ada hubungannya dengan kompleks Pusdikarmed yang dahulu mempunyai meriam artileri medan yang jika di bahasa Belandakan Veldartillerie karena lidah warga pribumi menjadi PE? Atau dari arti makanan kuda (rumput) yg disebut Paarden atau dari istilah istilah lain....entahlah....

Namun informasi tambahan yang disampaikan kang Eri Gunawan bisa jadi rujukan penyebutan nama Balong PE.  Dulu kolam itu disebut balong gede atau Balong PE. Karena balong itu dijaga oleh petugas berpakaian hijau seperti halnya hansip. Di dada kanan seragam petugas itu terdapat tulisan PE yang artinya Polisi Empang. Kang Eri yang lahir dan besar di Kompleks Ratulangi, tak jauh dari Balong PE, masih ingat komandan Polisi Empang itu bernama Pak Dekom.

Kang Eri pun mengenang Balong PE sebagai tempatnya bermain saat kecil. Ia pernah merasakan berenang memakai gedebog pisang. Di samping balong PE, ada rel lori untuk membawa rumput dari Grasland atau Kebon Jukut ke Pusdik Armed. Tempat berhenti lori di persimpangan depan mesjid. Saat ini sudah tidak ada lagi berganti jadi pos provost Brigif 15 dan koperasi Brigif 15. (*)

Saturday, February 11, 2017

Gedong Dalapan Weg

Oleh Kang Mac
NAMA Gedong Dalapan Weg atau Jalan Gedong Dalapan mungkin banyak yang lupa atau tidak tahu. Berbeda dengan Gedong Ampat weg, masih mengabadi dengan nama Jalan Gedung Empat. Tapi setidaknya tahun 80-an, orang masih mengenal nama Jalan Gedong Dalapan. Kini nama Jalan Sriwijaya Raya atau banyak pula yang menyebut Sriwijaya Atas menggantikan nama Gedong Dalapan. 

Sebenarnya dari mana datangnya nama Gedong Dalapan. Karena kalau ditelusuri dan dihitung cermat, di sepanjang jalan Sriwijaya Raya itu rumah-rumah perwira di sana sangat banyak lebih dari delapan.
 

Peta Tjimahi tahun 1904 mengungkap asal usul nama Jalan Gedong Dalapan. Di dalam peta, jajaran rumah di sepanjang jalan yang membentang dari utara ke selatan itu terbagi dalam 3 blok. Blok pertama terdiri dari 8 rumah. Lalu diselingi jalan masuk via gerbang belakang ke Pusdikbekang (dulu Batalyon Genie Kamp). Disambung dengan jejeran 9 rumah di blok kedua dan diselingi jalan masuk via gerbang belakang ke Pusdikhub (dulu Batalyon 4e Kamp). Blok ketiga terdiri atas 10 rumah yang sekarang bersambung dengan Pura Wira Loka Natha. 


 

 Jadi jejeran rumah di sepanjang Jalan Sriwijaya Raya itu terdiri dari 8 rumah (blok 1), 9 rumah (blok 2), dan 10 rumah (blok 3). Delapan rumah di blok 1 inilah yang pertama kali dibangun dan menjadi asal usul penyebutan nama jalan.
 

Nomor rumah di blok 1 ini dimulai dengan nomor E7, disambung E8, D1, D2, D3, D4, D5, dan D6. Rumah-rumah ini diperuntukan bagi para perwira KNIL dan estafet untuk perwira TNI. Rumah nomor E7 sempat dijadikan markas Subdenpom sebelum menempati markas di pertigaan Jalan Gedung Empat, bekas bangunan Frobel School (TK). 


 

Sayangnya, di blok pertama ini banyak rumah yang sudah tidak utuh lagi, karena disekat-sekat. Satu rumah dibagi dua, bahkan tiga, walau dalam satu atap. Sering kejadian, satu dinding tembok rumah bisa dua warna cat berbeda. Penyekatan pun tidak proporsional. Satu bagian lebih besar dibanding bagian yang lain. Mungkin itu tergantung pangkat penghuninya. (*)

Monday, February 6, 2017

Ngampar Samak: Siapa Nama Udeg-udeg Kita?

Oleh Kang Mac
Siapa yang tahu nama Uded-udeg masing-masing? Atau nama Janggawareng?. Pertanyaan itu meluncur di sela-sela perbincangan santai Ngampar Samak yang digelar Tjimahi Heritage di Pendopo DPRD Kota Cimahi, Minggu 15 Februari 2017. Semua yang ditanya tersenyum simpul, ada pula yang kecut. Ya karena mereka tidak memiliki jawabannya, termasuk saya. 



 

Udeg-udeg merupakan satu istilah pancakaki dalam budaya Sunda untuk menunjukkan leluhur tingkat keenam.  Dalam pancakaki atau sistem hubungan kekerabatan Sunda, orang tua kita atau bapa dan indung menempati peringkat pertama. Lalu ke atas ada Aki dan Nini, yaitu orang tua Bapa/Indung. Berlanjut ke Uyut, yaitu orang tuanya Aki Nini. Lalu loncat ke Bao atau Canggah, orang tua Uyut. Selanjutnya adalah Janggawareng, yaitu orang tuanya Bao. Tingkat berikutnya adalah Udeg-udeg, yaitu orang tuanya Janggawareng. Tingkat ketujuh adalah Kakait Siwur/Kaitsiwur atau Gantung Siwur. Seterusnya ke atas disebut Karuhun.
 


Paling banter, orang biasa semodel saya yang bukan menak dan ningrat hanya tahu leluhurnya sampai tingkat uyut saja. Itu yang paling umum. Untuk menyebut Janggawareng atau Udeg-udeg, sudah sulit luar biasa. Mengapa demikian? Karena pewarisan pengetahuan tentang leluhur kita tidak disertai dengan catatan-catatan, arsip dan dokumentasi yang baik. Akibatnya, kita kesulitan untuk melacak jejak leluhur kita. Selama ini kita hanya mengandalkan cerita lisan, dongeng turun temurun dari para orang tua kita bahwa leluhur kita adalah si anu, si B dan si C.
 

Kalaupun kita mengetahui nama dari leluhur kita, itu pun tidak dibareng dengan kisah atau setidaknya tempat tanggal lahir, tempat tanggal meninggal. Berbeda dengan keluarga menak. Mereka memiliki genealogi yang lengkap sebagai justifikasi bahwa mereka benar keturunan menak. Kebanyakan di Sunda, keluarga menak menghubungkan dirinya dengan patron di atas seperti Bupati dan tentu trah Siliwangi dan Pajajaran atau Sunan Gunung Djati dengan keraton Cirebonnya.
 

Begitu pula dengan orang Belanda, mereka dikenal sangat disiplin dalam menuliskan silsilah keluarga. Genealogi mereka tersambung dari satu generasi ke generasi lainnya hingga merentang waktu berabad-abad.Tak heran kang Hans Haijer, keturunan Indo Belanda mampu menelusuri silsilah keluarga hingga rentang waktu tahun 1500-an. 
 

Acara Ngampar Samak merupakan kegiatan Tjimahi Heritage di dalam ruangan. Biasanya kami menggelar jelajah setiap bulannya. Sebagai selingan dan refreshing, kami gelar Ngampar Samak untuk ajak diskusi anggota. Minggu kemarin menjadi kesempatan bagi teman-teman Tjimahi Heritage untuk mendengarkan riwayat keluarga kang Hans. Dimulai dari perjalanan leluhur van Meijden atau van Meiden asal Utrecht atau Groeningen yang kemudian berlayar ke Maluku. Di sana keluarga Meiden ini bercampur baur dan menikah dengan warga setempat. Salah satunya dengan keluarga Kapiten Cina di Ambon, yang menurunkan keluarga Nio.
 

Dari Ambon keluarga van Meiden ini menyebar ke sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Cimahi dan Bandung. Salah satunya adalah ayah dari kakek buyutnya kang Hans, yaitu Andries van der Meiden/Rijken. Dia adalah seorang pegulat dan tentara KNIL.Andries lahir di kota Culemborg Provinsi Gelderland pada 23-04-1889 dan meninggal di Bandung 02-12-1940, dimakamkan di TPU Pandu.





Menurut kang Hans, berdasar cerita keluarga yang di Belanda, Andries van der Meiden  pernah menjuarai pertandingan gulat tingkat Provinsi di Gelderland sekitar tahun 1909-1910. Dan sewaktu tinggal di sini, beliau masih menekuni hobinya.
 

Waktu itu di Bandung ada hiburan rakyat dan ada yang memamerkan banteng dengan ukuran yang sangat besar dan agresif ,terus yang punya membuat sayembara siapa yang berani melawan banteng nya sampai mati akan di berikan hadiah yang sangat besar,Andries pun menawarkan diri untuk melawan banteng itu.

Besok nya Andries meminta izin kepada pemerintah kolonial untuk diizinkan melawan banteng itu, tetapi pemerintah kolonial tidak mengizinkan. "Itulah salah satu cerita tentang Andries menurut kakek saya dan keluarga di Belanda," begitu tutur kang Hans.



       Foto Johanna van der Meiden bersama temannya didampingi sang ayah, Andries van der Meiden. 
                                                  Sumber: Koleksi keluarga Hans Haijer
                                              
Namun yang paling menarik dari riwayat Andries van der Meiden ini adalah kisah cintanya yang sangat romantis, tak kalah dengan Romeo en Juliet. Andries bertemu dengan seorang gadis asal Majalengka, Enneh. Mereka kemudian menikah dan tinggal di Cibangkong Bandung. Sempat pula tinggal di daerah Leuwimuncang dan Kolmas Cimahi. Dari pernikahan itu, lahirlah Johanna van der Meiden, nenek buyut kang Hans. 

Menurut Hans, saat melahirkan, ibu Enneh kesakitan luar biasa, karena bayi Johanna berbadan besar. Ketika ibu Enneh meninggal pada tahun 1937, Andries sangat terpukul. Ia pun depresi, mengurung diri di dalam rumah. Ia sering mengunjungi makam ibu Enneh di pemakaman Leuwigajah.
 

Suatu hari di puncak stres depresi dan rasa frustrasinya, Andries menyuruh pembantu untuk membelikan braso, cairan pembersih sepatu. Secara diam-diam, di dalam kamarnya, Andries mengakhiri hidup dengan cara meneguk cairan braso. Ia meninggalkan surat wasiat yang dikirim ke Belanda dan mengakui soal bunuh diri itu.
                                                                    Ibu Enneh Anamah (tengah) bersama Andries
                                                                        van der Meiden dan anaknya, Johanna
                                                                       Sumber foto: Koleksi keluarga Hans Haijer
Dari penuturan kang Hans, terungkap bagaimana rapinya sistem dokumentasi dan arsip di Belanda. Hal yang jarang kita temui di Indonesia. Ketika kang Hans mengontak keluarga di Belanda yang satu keturunan dengan dirinya, mereka tidak langsung percaya. Tapi setelah kang Hans menunjukkan bukti-bukti berupa alur genealogi dan beberapa foto, mereka langsung welcome. Bahkan sejumlah foto keluarga pun mereka kirim untuk disimpan Hans.
 

Ini pelajaran penting untuk mencari silsilah keluarga. Tips dari Hans, kunjungi makam leluhur kita. Dari batu nisan, kita bisa mendapat informasi siapa bapak dari siapa, misal Aa bin Cece. Juga kalau beruntung, mendapat info kapan lahir dan kapan meninggal. Telusuri lagi makam Cece, supaya tahu siapa bapaknya dan dimana lahirnya. Dari penelusuran itu setidaknya bisa mengetahui leluhur kita sampai 4 tingkat ke atas.

Keluarga Tjibolang
Kang Koko Kuryana pun bercerita soal keluarga Tjibolang. Tjibolang adalah sebuah nama daerah di Cimahi yang kini lebih dikenal sebagai Jalan Lurah atau Karangmekar. Salah satu leluhur Kang Koko adalah Buya Hanafi yang menjabat sebagai Lurah Cipageran pada tahun 1920-an. Kang Koko pun membawa serta foto-foto jadul keluarga Tjibolang. Luar biasanya, foto-foto itu masih awet. Padahal umur foto itu nyaris 100 tahun.

Dari silsilah keturunan keluarga Tjibolang ini lahir sosok Pak Soedarja yang pada tahun 70-an menjadi Wali Kota Jakarta Barat. Rumahnya merupakan rumah kolonial di Jalan Gatot Subroto samping SMP 6. Dulu setiap lewat Jalan Gatot Subroto, selalu melihat ke rumah tersebut yang punya ciri khas tanaman pisang kipas yang tumbuh subur di halaman. Sayang, sekarang rumah itu sudah rata dengan tanah, mungkin sudah dijual

Sementara Bu Cintasari Herly membawa dokumen silsilah berupa diktat. Diktat itu begitu rinci menjelaskan siapa keturunan siapa. Dari pihak ibu dan ayah. Pak Herly adalah salah satu keturunan keluarga yang rupanya berasal dari Pekalongan. Dan asal usul lebih jauhnya, mereka keturunan Sunan Gunung Jati dari pihak istri asal Cina.

Lagi-lagi ini pelajaran penting bagi kita, untuk senantiasa mendokumentasikan dan mengarsipkan apapun terkait keluarga. Tujuan agar lebih memudahkan membuat silsilah dan tentu agar tidak kehilangan jejak keluarga kita sendiri.  (*) 

Friday, January 20, 2017

Kisah Lapangan di Cimahi

Oleh Kang Mac

SETIAP pergi ke Pasar Antri Baru dari arah Dustira, tentu melewati markas Pu
ssen Arhanud. Setiap itu pula teringat, dulu tempat itu adalah Lapangan Sriwijaya yang penuh kenangan.

Bermain bola, upacara 17 Agustus, latihan baris-baris berbaris, atau mabal alias bolos sekolah, tempatnya ya di Lapangan Sriwijaya ini. Tempat pacaran? So pasti itu mah, tiap lewat lapangan rumput hijau nan luas itu pasti bisa menyaksikan pasangan yang lagi asyik dengan dunianya.

Tempat berkelahi? Mantaap, itu lapangan menyediakan lahan sangat lega buat berduel atau berkelahi keroyokan. Mau kejar-kejaran, koprol keliling lapangan, silakan asal kuat. 
Saya masih ingat, saat SD tahun 80-an, beberapa kali berolahraga di Lapangan Sriwijaya. Dari Tagog, saya dan rekan-rekan satu SD (jadi 6 kelas), jalan kaki ke Sriwiaya. Tujuannya berolahraga bersama sambil piknik. Tak heran, tas gendong kami penuh dengan bekal makanan dan air minum.

Jadi pasti banyak kenangan lain yang bisa diceritakan dari satu Lapangan Sriwijaya ini. Ya hanya kenangan, karena wujud lapangan itu sudah sirna, hanya tertinggal di ingatan.

Perkembangan Cimahi menjadi kota membuat lahan semakin sempit. Lapangan-lapangan pun menjadi korban. Kini wujudnya berganti rupa menjadi rumah atau perkantoran.

Ini beberapa lapangan yang saya ingat pernah ada di Cimahi.
1. Lapangan Bonlap. Inilah lapangan legendaris untuk para pemain bola cilik di Cimahi. Di era 80-an, di lapangan Kebon Kalapa Pojok ini setiap tahun digelar pertandingan sepak bola antar klub di Cimahi.
Waktu SD kelas 6, saya pernah ikut berkompetisi di lapangan ini. Waktu itu saya memperkuat klub Angkasa, gabungan siswa-siswa SD Sukamanah I dan Cibabat. Pemain yang boleh bertanding adalah pemain dengan tinggi maksimal 150 cm. Jadi ukurannya adalah tinggi badan. Kadang-kadang ada pemain yang ketinggian, lalu memendek-mendekkan diri biar lolos di palang pengukur.
Lalu saat SMP pun saya ikut pula berkompetisi di lapangan Bonlap ini. Kali ini saya memperkuat tim Liga Buana, timnya anak-anak SMP 3 Cimahi plus. Plus karena kami menggaet juga pemain dari luar, yaitu Aldi, kakaknya Coni Dio, sebagai striker. Nama klub ini terinspirasi nama-nama toko olahraga di Jalan Gandawijaya.
Saya tidak tahu kapan terakhir digelar kompetisi bola di lapangan Bonlap. Waktu saya SMA, tahun 90-an, lapangan ini masih ada dan sering dipakai untuk panggung musik 17-an. Saya pertama kali nonton Jamrock, cikal bakal Jamrud, ya di lapangan ini.
Beberapa hari lalu saya lewat Jalan Kebon Kalapa, lapangan ini sudah hilang, berganti jadi rumah dan bengkel.

2. Lapangan Sosial. Lapangan sepakbola ini disebut Lapang Sosial karena memang milik Dinas Sosial di Cibabat, persis di samping Polres Cimahi. Pernah saya sekali diajak main di turnamen bola Kapolres Cup. Waktu itu bersama klub Gita Utama. Lagi-lagi main bersama Aldi, kakak Coni Dio. Sekarang lapangan ini sudah beralih rupa menjadi Kantor Dinsos Jabar.

3. Lapangan Kebon Kembang. Ini sebuah lapang kecil, sedikit lebih besar dari lapangan voli, di daerah Kebon Kembang. Saya pernah main di sini, waktu itu turnamen Hayam Cup. Hanya saya lupa PS apa yang saya perkuat.

4. Lapangan samping Mesjid Agung Cimahi Utara. Ini tempat saya bermain setiap sore. Kalau tidak bermain bola ya main sepeda atau nonton orang main voli. Sekali waktu digelar turnamen sepakbola untuk anak-anak. Saya memperkuat PS Martas, barisan anak-anak dari Gang Martasim Prapatan Cihanjuang, tempat kakek nenek saya tinggal. Saat ini bangunan rumah besar mengganti wujud lapangan itu.

5. Lapangan Kebon Jeruk Sukajaya. Ini sebetulnya lahan bekas kebun Jeruk di daerah Sukajaya Cibabat, persis di belakang RSUD Cibabat. Ada beberapa kavling kecil yang sering dipakai untuk bermain bola atau bermain voli. Saya bergabung dengan PS Persas (Persatuan Sepakbola Anak-anak Sukajaya), tapi belum pernah bertanding di turnamen bola. Sekarang lapangan ini sudah berubah menjadi perumahan dan permukiman.

6. Lapangan Krida Cimahi Selatan. Ini lapangan sepakbola di dekat Baros. Saya belum pernah bermain bola di lapangan ini. Hanya pernah ikut jalan sehat yang start dan finishnya di lapangan ini. Kini lapangan ini tinggal cerita, berubah menjadi kawasan Technopark Cimahi.

7. Lapangan Kebon Manggu, Kompleks Pemda Cisangkan Hilir. Saya beberapa kali main sepakbola di lapangan ini. Karena diajak teman yang tinggal di sini. Waktu itu memperkuat tim ekskul Sepak bola SMP melawan PS Pemda junior. Tempo hari saya menjenguk teman yang sakit di daerah Kebon Manggu. Saya celingukan mencari lapangan itu, tapi nihil. Ternyata sudah berubah menjadi belantara rumah. Selain di lapang besar Kebon Manggu, saya pun pernah main juga di lapangan bola samping Tempat latihan Menembak Cisangkan. Lapangannya lebih kecil, tapi cukup buat berlari dan menendang bola.

8. Lapang sepakbola Panembakan Gunung Bohong. Lapangan bolanya saat ini memang masih ada, tapi berbeda tampilan setelah dirombak Brigif. Sekali-kalinya main di lapangan ini melawan kesebelasan anak-anak Gunung Bohong. Kebetulan ada teman SMP yang tinggal di Gunung Bohong dan mengajak main bola.

9. Lapangan Gamblok, Ciuyah. Ini salah satu lapangan yang pernah didatangi untuk berolahraga sekaligus piknik saat saya SD. Dari Tagog, lagi-lagi kami berjalan kaki berombongan, konvoi berbaris dua-dua menyusuri Margaluyu-Kandang Uncal-Ciawitali hingga Ciuyah. Beberapa waktu lalu bersepeda ke daerah Ciuyah, sengaja mencari lapangan itu. Tapi tak menemukan. "Lapangna tos janten perumahan, Cep," begitu kata seorang warga.

Itulah beberapa lapangan yang dulu pernah ada dan kini tinggal kenangan. Kalau lapangan punya militer, jangan ditanya, pasti terawat dan masih eksis. Contohnya Lapangan Rajawali atau Lapangan Arhanud, tempat saya berlatih bola saat SMP. Belum lagi lapangan-lapangan di beberapa pusdik, pasti masih mulus.

Masih banyak atau ada lapangan-lapangan, lahan terbuka, yang sudah berubah wujud di Cimahi. Entah jadi rumah, kantor, atau gedung. Ayo ceritakan kisah kalian tentang lapangan-lapangan di Cimahi. (*)