Thursday, February 16, 2017

Balong PE

Oleh Kang Iwan Hermawan
 
BALONG  PE demikian orang-orang menyebutnya. Berlokasi di komplek brigif 15 Kujang di daerah Baros Cimahi.
 

Entah penulisannya PE atau VE entahlah, sy liat di suatu majalah lawas Netherlands indische Leven terbitan 1930 kolam ini sudah ada dengan sebutan Visvijver yg artinya kolam ikan.
Di foto lama itu terlihat latar belakang kolam yaitu gunung padakasih dan gunung Aseupan yg keduanya sekarang mulai berubah bentuk.



                                       Balong PE di kompleks Brigif 15. Foto: Iwan Hermawan
 


 Kembali ke kolam, daerah itu dahulu merupakan padang rumput luas, rumput tersebut diperuntukan kuda-kuda penarik meriam. Penamaan PE masih misteri, mungkinkah penamaan itu ada hubungannya dengan kompleks Pusdikarmed yang dahulu mempunyai meriam artileri medan yang jika di bahasa Belandakan Veldartillerie karena lidah warga pribumi menjadi PE? Atau dari arti makanan kuda (rumput) yg disebut Paarden atau dari istilah istilah lain....entahlah....

Namun informasi tambahan yang disampaikan kang Eri Gunawan bisa jadi rujukan penyebutan nama Balong PE.  Dulu kolam itu disebut balong gede atau Balong PE. Karena balong itu dijaga oleh petugas berpakaian hijau seperti halnya hansip. Di dada kanan seragam petugas itu terdapat tulisan PE yang artinya Polisi Empang. Kang Eri yang lahir dan besar di Kompleks Ratulangi, tak jauh dari Balong PE, masih ingat komandan Polisi Empang itu bernama Pak Dekom.

Kang Eri pun mengenang Balong PE sebagai tempatnya bermain saat kecil. Ia pernah merasakan berenang memakai gedebog pisang. Di samping balong PE, ada rel lori untuk membawa rumput dari Grasland atau Kebon Jukut ke Pusdik Armed. Tempat berhenti lori di persimpangan depan mesjid. Saat ini sudah tidak ada lagi berganti jadi pos provost Brigif 15 dan koperasi Brigif 15. (*)

Saturday, February 11, 2017

Gedong Dalapan Weg

Oleh Kang Mac
NAMA Gedong Dalapan Weg atau Jalan Gedong Dalapan mungkin banyak yang lupa atau tidak tahu. Berbeda dengan Gedong Ampat weg, masih mengabadi dengan nama Jalan Gedung Empat. Tapi setidaknya tahun 80-an, orang masih mengenal nama Jalan Gedong Dalapan. Kini nama Jalan Sriwijaya Raya atau banyak pula yang menyebut Sriwijaya Atas menggantikan nama Gedong Dalapan. 

Sebenarnya dari mana datangnya nama Gedong Dalapan. Karena kalau ditelusuri dan dihitung cermat, di sepanjang jalan Sriwijaya Raya itu rumah-rumah perwira di sana sangat banyak lebih dari delapan.
 

Peta Tjimahi tahun 1904 mengungkap asal usul nama Jalan Gedong Dalapan. Di dalam peta, jajaran rumah di sepanjang jalan yang membentang dari utara ke selatan itu terbagi dalam 3 blok. Blok pertama terdiri dari 8 rumah. Lalu diselingi jalan masuk via gerbang belakang ke Pusdikbekang (dulu Batalyon Genie Kamp). Disambung dengan jejeran 9 rumah di blok kedua dan diselingi jalan masuk via gerbang belakang ke Pusdikhub (dulu Batalyon 4e Kamp). Blok ketiga terdiri atas 10 rumah yang sekarang bersambung dengan Pura Wira Loka Natha. 


 

 Jadi jejeran rumah di sepanjang Jalan Sriwijaya Raya itu terdiri dari 8 rumah (blok 1), 9 rumah (blok 2), dan 10 rumah (blok 3). Delapan rumah di blok 1 inilah yang pertama kali dibangun dan menjadi asal usul penyebutan nama jalan.
 

Nomor rumah di blok 1 ini dimulai dengan nomor E7, disambung E8, D1, D2, D3, D4, D5, dan D6. Rumah-rumah ini diperuntukan bagi para perwira KNIL dan estafet untuk perwira TNI. Rumah nomor E7 sempat dijadikan markas Subdenpom sebelum menempati markas di pertigaan Jalan Gedung Empat, bekas bangunan Frobel School (TK). 


 

Sayangnya, di blok pertama ini banyak rumah yang sudah tidak utuh lagi, karena disekat-sekat. Satu rumah dibagi dua, bahkan tiga, walau dalam satu atap. Sering kejadian, satu dinding tembok rumah bisa dua warna cat berbeda. Penyekatan pun tidak proporsional. Satu bagian lebih besar dibanding bagian yang lain. Mungkin itu tergantung pangkat penghuninya. (*)

Monday, February 6, 2017

Ngampar Samak: Siapa Nama Udeg-udeg Kita?

Oleh Kang Mac
Siapa yang tahu nama Uded-udeg masing-masing? Atau nama Janggawareng?. Pertanyaan itu meluncur di sela-sela perbincangan santai Ngampar Samak yang digelar Tjimahi Heritage di Pendopo DPRD Kota Cimahi, Minggu 15 Februari 2017. Semua yang ditanya tersenyum simpul, ada pula yang kecut. Ya karena mereka tidak memiliki jawabannya, termasuk saya. 



 

Udeg-udeg merupakan satu istilah pancakaki dalam budaya Sunda untuk menunjukkan leluhur tingkat keenam.  Dalam pancakaki atau sistem hubungan kekerabatan Sunda, orang tua kita atau bapa dan indung menempati peringkat pertama. Lalu ke atas ada Aki dan Nini, yaitu orang tua Bapa/Indung. Berlanjut ke Uyut, yaitu orang tuanya Aki Nini. Lalu loncat ke Bao atau Canggah, orang tua Uyut. Selanjutnya adalah Janggawareng, yaitu orang tuanya Bao. Tingkat berikutnya adalah Udeg-udeg, yaitu orang tuanya Janggawareng. Tingkat ketujuh adalah Kakait Siwur/Kaitsiwur atau Gantung Siwur. Seterusnya ke atas disebut Karuhun.
 


Paling banter, orang biasa semodel saya yang bukan menak dan ningrat hanya tahu leluhurnya sampai tingkat uyut saja. Itu yang paling umum. Untuk menyebut Janggawareng atau Udeg-udeg, sudah sulit luar biasa. Mengapa demikian? Karena pewarisan pengetahuan tentang leluhur kita tidak disertai dengan catatan-catatan, arsip dan dokumentasi yang baik. Akibatnya, kita kesulitan untuk melacak jejak leluhur kita. Selama ini kita hanya mengandalkan cerita lisan, dongeng turun temurun dari para orang tua kita bahwa leluhur kita adalah si anu, si B dan si C.
 

Kalaupun kita mengetahui nama dari leluhur kita, itu pun tidak dibareng dengan kisah atau setidaknya tempat tanggal lahir, tempat tanggal meninggal. Berbeda dengan keluarga menak. Mereka memiliki genealogi yang lengkap sebagai justifikasi bahwa mereka benar keturunan menak. Kebanyakan di Sunda, keluarga menak menghubungkan dirinya dengan patron di atas seperti Bupati dan tentu trah Siliwangi dan Pajajaran atau Sunan Gunung Djati dengan keraton Cirebonnya.
 

Begitu pula dengan orang Belanda, mereka dikenal sangat disiplin dalam menuliskan silsilah keluarga. Genealogi mereka tersambung dari satu generasi ke generasi lainnya hingga merentang waktu berabad-abad.Tak heran kang Hans Haijer, keturunan Indo Belanda mampu menelusuri silsilah keluarga hingga rentang waktu tahun 1500-an. 
 

Acara Ngampar Samak merupakan kegiatan Tjimahi Heritage di dalam ruangan. Biasanya kami menggelar jelajah setiap bulannya. Sebagai selingan dan refreshing, kami gelar Ngampar Samak untuk ajak diskusi anggota. Minggu kemarin menjadi kesempatan bagi teman-teman Tjimahi Heritage untuk mendengarkan riwayat keluarga kang Hans. Dimulai dari perjalanan leluhur van Meijden atau van Meiden asal Utrecht atau Groeningen yang kemudian berlayar ke Maluku. Di sana keluarga Meiden ini bercampur baur dan menikah dengan warga setempat. Salah satunya dengan keluarga Kapiten Cina di Ambon, yang menurunkan keluarga Nio.
 

Dari Ambon keluarga van Meiden ini menyebar ke sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Cimahi dan Bandung. Salah satunya adalah ayah dari kakek buyutnya kang Hans, yaitu Andries van der Meiden/Rijken. Dia adalah seorang pegulat dan tentara KNIL.Andries lahir di kota Culemborg Provinsi Gelderland pada 23-04-1889 dan meninggal di Bandung 02-12-1940, dimakamkan di TPU Pandu.





Menurut kang Hans, berdasar cerita keluarga yang di Belanda, Andries van der Meiden  pernah menjuarai pertandingan gulat tingkat Provinsi di Gelderland sekitar tahun 1909-1910. Dan sewaktu tinggal di sini, beliau masih menekuni hobinya.
 

Waktu itu di Bandung ada hiburan rakyat dan ada yang memamerkan banteng dengan ukuran yang sangat besar dan agresif ,terus yang punya membuat sayembara siapa yang berani melawan banteng nya sampai mati akan di berikan hadiah yang sangat besar,Andries pun menawarkan diri untuk melawan banteng itu.

Besok nya Andries meminta izin kepada pemerintah kolonial untuk diizinkan melawan banteng itu, tetapi pemerintah kolonial tidak mengizinkan. "Itulah salah satu cerita tentang Andries menurut kakek saya dan keluarga di Belanda," begitu tutur kang Hans.



       Foto Johanna van der Meiden bersama temannya didampingi sang ayah, Andries van der Meiden. 
                                                  Sumber: Koleksi keluarga Hans Haijer
                                              
Namun yang paling menarik dari riwayat Andries van der Meiden ini adalah kisah cintanya yang sangat romantis, tak kalah dengan Romeo en Juliet. Andries bertemu dengan seorang gadis asal Majalengka, Enneh. Mereka kemudian menikah dan tinggal di Cibangkong Bandung. Sempat pula tinggal di daerah Leuwimuncang dan Kolmas Cimahi. Dari pernikahan itu, lahirlah Johanna van der Meiden, nenek buyut kang Hans. 

Menurut Hans, saat melahirkan, ibu Enneh kesakitan luar biasa, karena bayi Johanna berbadan besar. Ketika ibu Enneh meninggal pada tahun 1937, Andries sangat terpukul. Ia pun depresi, mengurung diri di dalam rumah. Ia sering mengunjungi makam ibu Enneh di pemakaman Leuwigajah.
 

Suatu hari di puncak stres depresi dan rasa frustrasinya, Andries menyuruh pembantu untuk membelikan braso, cairan pembersih sepatu. Secara diam-diam, di dalam kamarnya, Andries mengakhiri hidup dengan cara meneguk cairan braso. Ia meninggalkan surat wasiat yang dikirim ke Belanda dan mengakui soal bunuh diri itu.
                                                                    Ibu Enneh Anamah (tengah) bersama Andries
                                                                        van der Meiden dan anaknya, Johanna
                                                                       Sumber foto: Koleksi keluarga Hans Haijer
Dari penuturan kang Hans, terungkap bagaimana rapinya sistem dokumentasi dan arsip di Belanda. Hal yang jarang kita temui di Indonesia. Ketika kang Hans mengontak keluarga di Belanda yang satu keturunan dengan dirinya, mereka tidak langsung percaya. Tapi setelah kang Hans menunjukkan bukti-bukti berupa alur genealogi dan beberapa foto, mereka langsung welcome. Bahkan sejumlah foto keluarga pun mereka kirim untuk disimpan Hans.
 

Ini pelajaran penting untuk mencari silsilah keluarga. Tips dari Hans, kunjungi makam leluhur kita. Dari batu nisan, kita bisa mendapat informasi siapa bapak dari siapa, misal Aa bin Cece. Juga kalau beruntung, mendapat info kapan lahir dan kapan meninggal. Telusuri lagi makam Cece, supaya tahu siapa bapaknya dan dimana lahirnya. Dari penelusuran itu setidaknya bisa mengetahui leluhur kita sampai 4 tingkat ke atas.

Keluarga Tjibolang
Kang Koko Kuryana pun bercerita soal keluarga Tjibolang. Tjibolang adalah sebuah nama daerah di Cimahi yang kini lebih dikenal sebagai Jalan Lurah atau Karangmekar. Salah satu leluhur Kang Koko adalah Buya Hanafi yang menjabat sebagai Lurah Cipageran pada tahun 1920-an. Kang Koko pun membawa serta foto-foto jadul keluarga Tjibolang. Luar biasanya, foto-foto itu masih awet. Padahal umur foto itu nyaris 100 tahun.

Dari silsilah keturunan keluarga Tjibolang ini lahir sosok Pak Soedarja yang pada tahun 70-an menjadi Wali Kota Jakarta Barat. Rumahnya merupakan rumah kolonial di Jalan Gatot Subroto samping SMP 6. Dulu setiap lewat Jalan Gatot Subroto, selalu melihat ke rumah tersebut yang punya ciri khas tanaman pisang kipas yang tumbuh subur di halaman. Sayang, sekarang rumah itu sudah rata dengan tanah, mungkin sudah dijual

Sementara Bu Cintasari Herly membawa dokumen silsilah berupa diktat. Diktat itu begitu rinci menjelaskan siapa keturunan siapa. Dari pihak ibu dan ayah. Pak Herly adalah salah satu keturunan keluarga yang rupanya berasal dari Pekalongan. Dan asal usul lebih jauhnya, mereka keturunan Sunan Gunung Jati dari pihak istri asal Cina.

Lagi-lagi ini pelajaran penting bagi kita, untuk senantiasa mendokumentasikan dan mengarsipkan apapun terkait keluarga. Tujuan agar lebih memudahkan membuat silsilah dan tentu agar tidak kehilangan jejak keluarga kita sendiri.  (*)